Kondisi ini pada gilirannya dapat menyebabkan harga impor yang lebih tinggi dan inflasi yang juga lebih tinggi. Hal ini pun pernah terjadi di Indonesia pada 2013 silam. Namun, kondisi saat ini berbeda di mana inflasi lebih rendah, defisit transaksi berjalan berkurang, dan cadangan devisa tercatat jauh lebih baik.
Selain itu, perbedaan suku bunga riil antara Indonesia dan AS jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya. Kondisi ini menurutnya mampu memberikan perlindungan terhadap risiko volatilitas yang mengancam pasar keuangan domestik.
Dengan kata lain, kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral AS The Federal Reserve System atau The Fed tidak akan terlalu berpengaruh terhadap arah kebijakan ekonomi Indonesia.
“Secara keseluruhan, kami yakin skenario Indonesia tahun ini bahwa pertumbuhan PDB [produk domestik bruto] akan naik, inflasi juga naik akan tetapi terkendali,” ujarnya.
Namun, tantangan lain muncul dari pergerakan rupiah. Rupiah melemah ke kisaran Rp 14.635 terhadap dolar AS minggu lalu, level terendah sejak November tahun lalu. Adapun, mata uang Garuda ini telah melemah sebesar 3,4 persen tahun ini.
BI mengakui bahwa posisi rupiah ini masih undervalued. Bank sentral pun menegaskan pihaknya akan tetap menjaga rupiah dengan melakukan intervensi yang cukup di pasar valas dan SBN.