Hal itu pula yang kemudian menyebabkan tingkat kewaspadaan terhadap perusahaan konglomerasi harus lebih tinggi. Dia mencontohkan suatu bank yang hanya menjalankan satu bisnis jasa keuangan yaitu bank itu saja, maka risiko yang datang hanya berasal dari entitas individu bank tersebut, seperti dari kredit yang telah disalurkan.
“Ini berbeda dengan bank yang kemudian juga punya anak usaha perusahaan sekuritas, lalu ketika terjadi volatilitas saham akan berpengaruh pada pendapatannya, atau ketika anak usahanya membeli obligasi lalu macet, itu akan berpengaruh ke kinerja secara konsolidasi,” kata Andri.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengungkapkan saat ini ada 45 grup usaha yang masuk sebagai konglomerasi keuangan di Indonesia.
Guna memperketat pengawasan pada kelompok-kelompok konglomerasi tersebut, otoritas telah menerbitkan beleid baru yaitu Peraturan Nomor 45 Tahun 2020 tentang Konglomerasi Keuangan pada 16 Oktober 2020. “Peraturan ini kami buat agar kami bisa melihat satu per satu secara lebih detil,” ucapnya.
Seperti diketahui, saat ini terdapat sejumlah grup konglomerasi keuangan dengan penguasaan aset di atas Rp 100 triliun, yang umumnya bergerak di sektor perbankan.
Beberapa di antaranya adalah perusahaan pelat merah maupun swasta, seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank Danamon Indonesia Tbk, dan PT Bank Permata Tbk.