Tempo.Co, Jakarta - Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan menguatnya kurs rupiah terhadap dolar AS bersamaan dengan penguatan mata uang regional lainnya seperti Ringgit Malaysia dan Peso Filipina. Selain itu penguatan rupiah didukung pula oleh fundamental Indonesia yang baik.
Dia melanjutkan banyak pihak yang akan diuntungkan dengan penguatan rupiah. Dia juga mengomentari pernyataan Presiden Jokowi soal eksportir yang tidak senang dengan penguatan rupiah.
"Kalau kita lihat memang benar eksportir akan terkena dampak konversi sehingga pendapatan rupiahnya jadi mengecil. Apakah ini berpengaruh secara berkepanjangan? Kalau dalam jangka pendek, sebenarnya banyak yang diuntungkan," kata Dody di Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2020 di Ritz Carlton Pasific Place, Jakarta, Kamis, 16 Januari 2020.
Hal itu merespons pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang mengatakan penguatan nilai tukar rupiah yang perlu diwaspasai dan hati-hati.
"Ada yang senang dan ada yang tidak senang, eksportir tentu tidak senang. Karena rupiah menguat, menguat, menguat sehingga daya saing kita juga akan menurun," kata Jokowi.
Dody menuturkan nilai tukar rupiah masih bergerak sesuai fundamentalnya. Seperti, dia memproyeksi pertumbuhan ekonomi triwulan IV akan lebih tinggi dari triwulan III. Juga inflasi 2019 yang sebesar 2,72 terbaik dalam 20 tahun terakhir.
"Trade balance kita kemarin US$ 27,2 juta defisit, dari defisit US$ 1,3 miliar sebelulmnya. Kalau ditutup 2019 defisit keseluruhan tahun US$ 3 miliar dari 2018 sebesar US$ 8 miliar," kata Dody.
Hal itu, kata Dody, membuat aliran modal asing masuk sekiar Rp 22 triliun dan rupiah terapresiasi sekitar 4 persen.
Adapun Dody mengatakan penguatan rupiah jangka pendek membuat kegiatan produksi lebih murah karena harga barang modal turun. Selain itu, juga mendorong kegiatan konsumsi domestik.
"Inflasi juga akan terbantu kalau rupiah menguat. Juga dari korporasi yang punya utang valas dengan rupiah menguat dalam jangka pendek itu akan terbantu dari ongkos produksinya, dari komponen valasnya berkurang. Jadi membantu kesehatan keuangan korporasi," kata dia.
Belum lagi, kata dia, investor asing yang masuk ke Indonesia." Jadi overall akan positif secara fundamental ekonomi. Tetapi memang dalam jangka menengah panjang kalau ini dibiarkan, daya saing ekspor kita akan turun, karena dampak produk ekspor kita yang sensitif pada nilai tukar, khususnya manufaktur," kata dia.