TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan rencana pemerintah menghapus subsidi pelanggan listrik rumah tangga mampu 900VA di tahun depan akan menyebabkan kenaikan tarif dasar listrik.
"Ini bisa memicu inflasi, karena berpengaruh dan seharusnya dihindari maka menurut saya pemerintah tak perlu melakukan," ungkap Piter kepada Bisnis.com, Minggu 8 September 2019.
Menurut dia, kenaikan tarif dasar listrik akan mempengaruhi pola konsumsi melambat, alhasil perlambatan ekonomi berpeluang terjadi lagi.
Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi pada Agustus 2019 untuk kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar masih menyumbang inflasi. Pasalnya, kelompok ini pada Agustus 2019 memberikan andil inflasi sebesar 0,06 persen.
BPS merincikan, kelompok ini pada Agustus 2019 mengalami inflasi sebesar 0,23 persen atau kenaikan indeks dari 132,52 pada Juli 2019 menjadi 132,82 pada Agustus 2019.
Seluruh subkelompok pada kelompok ini mengalami inflasi, yaitu; subkelompok biaya tempat tinggal 0,26 persen; subkelompok bahan bakar, penerangan, dan air sebesar 0,15 persen; subkelompok perlengkapan rumah tangga 0,28 persen; dan subkelompok penyelenggaraan rumah tangga sebesar 0,15 persen.
BPS juga menyatakan, komoditas yang dominan memberikan sumbangan inflasi, yaitu: tarif sewa rumah sebesar 0,02 persen dan tarif air minum PAM sebesar 0,01 persen.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti menilai saat ini wacana tersebut masih dalam tahap pengkajian.
Tujuannya agar jangan sampai tarif dasar listrik yang disesuaikan akan menyulitkan daya konsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Meski subsidi listrik akan dicabut nanti, Destry masih optimistis target inflasi tahun depan akan tercapai.
"Kita masih yakin 2020 akan taruh inflasi 3 persen sampai 4 persen," ungkap Destry.