TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU menduga ada potensi persaingan tidak sehat di balik lonjakan harga bawang putih selama periode Februari hingga Mei 2019. Kala itu, komoditas bumbu dapur tersebut sempat melambung hingga menembus angka Rp 70 ribu per kilogram.
"Ada potensi persaingan tidak sehat, di mana pelaku usaha membatasi peredaran atau penjualan barang atau jasa kepada pasar bersangkutan," ujar Deputi Kajian dan Advokasi KPPU Taufik Ariyanto di Kantor KPPU, Senin, 12 Agustus 2019.
Salah satu hal faktor yang mendukung aksi itu adalah adanya perubahan kebijakan tata niaga importasi bawang putih oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Kebijakan itu disebut memberikan kekuasaan pasar kepada importir. Sehingga, importir yang telah memiliki stok selama periode awal 2019 bisa menghambat pasokan masuk ke pasar. Dugaan itu tampak dari tidak adanya impor bawang putih selama periode Januari hingga April 2019.
Kebijakan yang dimaksud adalah terkait penerbitan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dari Kementan dan Surat Persetujuan Impor dari Kemendag. Untuk mendapat izin impor, perusahaan importir mesti melakukan kebijakan wajib tanam sebanyak 5 persen di dalam negeri.
"Kebijakan wajib tanam itu diduga menjadi penyebab terlambatnya penerbitan RIPH karena proses verifikasi memakan waktu sepanjang awal tahu 2019, yaitu Januari hingga Maret. Penerbitan RIPH dilakukan setelah hasil verifikasi periode sebelumnya selesai," kata Taufik. Belum lagi dari praktik yang sudah berjalan, keterlambatan juga terjadi di Kemendag untuk penerbitan SPI di awal 2019, alias baru terbit April 2019.
"Kondisi tersebut mengakibatkan importir yang sudah memiliki SPI per Oktober 2018 dan sudah merealisasikan impor berdasarkan kuota yang dimiliki, dapat menguasai pasokan di pasar domestik," kata Taufik.