TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia atau BI merespon mengenai pelemahan rupiah yang terjadi sepanjang satu minggu terakhir. Direktur Eksekutif Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengatakan pelemahan ini terjadi karena fluktuasi jangka pendek.
BACA: Awal Puasa, Rupiah dan Mata Uang Asia Lainnya Melemah
"Harus disikapi ini fluktuasi biasa, tidak perlu banyak dicemaskan, BI dipastikan akan selalu di pasar untuk jaga stabilitas rupiah," kata Nanang saat mengelar konferensi pers di kantor Bank Indonesia, Senin 6 Mei 2019.
Sepanjang sepekan terakhir rupiah memang tercatat terus melemah. Berdasarkan kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) pada 22 April 2019 kemarin nilai tukar terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mencapai Rp 14.056. Kondisi itu terus melemah hingga pada Senin 6 April 2019, rupiah bertengger pada level Rp 14.308 per dolar AS.
BACA: Kurs Rupiah Menguat ke 14.213 per Dolar AS
Baca Juga:
Sementara itu, di pasar spot rupiah juga tercatat melemah ke level Rp 14.239 per dolar AS atau melemah 0,27 persen pada perdagangan Senin, 6 Mei 2019 sekitar pukul 16.00 WIB. Bahkan, rupiah sempat mencapai titik terendahnya hingga mencapai Rp 14.333 per dolar AS pada perdagangan hari ini.
Nanang menjelaskan, salah satu penyebab rupiah melemah adalah statement Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengancam menaiikan tarif impor terhadap produk Cina. Selain itu, kenaikan ini juga dipicu oleh ketidakcocokan ekspektasi pasar dengan keputusan The Fed yang tidak akan menurunkan tingkat suku bunga.
Pelemahan terhadap rupiah ini, kata Nanang, tidak hanya berdampak pada rupiah tetapi juga terhadap pasar saham atau Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG. Nanang juga menuturkan pelemahan ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di Asia.
"Statement Presiden AS dampaknya pada juga pada yuan hari ini yang jatuh tajam, dan memicu jatuhnya harga saham di Cina sampai 5 persen," kata Nanang.
Lebih lanjut, Nanang menjelaskan pelemahan rupiah ini juga terjadi akibat perminaan valas yang meningkat. Permintaan valas tersebut meningkat akibat adanya pembayaran deviden, permintaan impor dan juga repatriasi dana. Kendati demikian, hal ini diprediksi tak akan lama sebab telah menjadi pola musiman setiap tahun.