TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah di 2019 diproyeksikan masih akan banyak bergantung pada kondisi perekonomian global. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan kondisi ekonomi global tahun depan diproyeksikan tak akan seburuk tahun ini yang banyak diwarnai gejolak, mulai dari ketegangan perang dagang AS-Cina, hingga kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed) yang agresif.
Baca: Kemenko Maritim: Jika Menambah Utang Saja, Rupiah Justru Melemah
“The Fed kemungkinan menaikkan suku bunga hanya dua kali, tidak segencar tahun ini, dan perang dagang sedikit berkurang karena adanya kesepakatan penangguhan sementara, tapi tetap harus diwaspadai karena gejolaknya begitu dinamis, bisa jadi harapan palsu,” ujar Piter, kepada Tempo, Selasa 18 Desember 2018.
Sementara itu, Piter berujar dari sisi domestik, Indonesia memulai 2019 dengan modal yang kurang baik, yaitu diwarnai pelebaran defisit neraca transaksi berjalan (CAD). Untuk menutup defisit yang utamanya bersumber dari neraca perdagangan itu, Indonesia harus mengoptimalkan kinerja neraca modal dengan menarik investor portofolio masuk ke pasar keuangan dalam negeri.
“Maka itu harus waspada kalau kondisi global tak sesuai prediksi, neraca modal nanti tak mampu menutup CAD, jadi kita akan benar-benar kekurangan suplai dolar, dan berpotensi menekan kurs rupiah,” ucapnya.
Jika kedua sentimen baik eksternal maupun internal itu dikombinasikan, maka menurut Piter setidaknya tekanan rupiah tidak akan seberat tahun ini. “CAD memang melebar tapi kondisi global lebih soft, sehingga tekanan rupiah akan lebih lunak, tidak terlalu bergejolak seperti tahun ini yang sempat bergerak di atas 15.500 per dolar AS,” kata Piter.
Meski demikian, perbaikan kurs rupiah disebut belum akan mampu menguat terlalu dalam. Dia pun memperkirakan pergerakan rupiah tahun depan akan berada di kisaran 15.200-15.300. “Tekanan terbesar kemungkinan terjadi di semester 1, dan semester 2 proyeksinya justru lebih baik.”
Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mengungkapkan optimisme serupa, yaitu memprediksi kurs rupiah tahun depan akan berada di bawah level 15.000 per dolar AS. “2019 akan sedikit lebih baik dari tahun ini, depresiasi rupiah tak akan sebesar sekarang yang sampai 12-13 persen,” katanya.
Anton melanjutkan Bank Indonesia juga tak akan banyak menaikkan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate seperti tahun ini yang mencapai 150 basis points (bps). “Kami melihat kenaikannya tahun depan mungkin hanya dua kali.”