TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Asian Development Bank (ADB) Institute, Eric Sugandi, menilai fundamental ekonomi masih dapat menopang depresiasi rupiah yang terjadi belakangan ini. Pernyataan tersebut menanggapi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada perdagangan siang ini, Senin, 21 Mei 2018, yang nyaris menyentuh level 14.200.
Meski begitu, menurut Eric, tingginya arus modal asing (hot money) dalam Surat Berharga Negara (SBN) menjadi penyebab makin anjloknya rupiah. Sebab, hal itu mengakibatkan arus keluar dana asing atau capital outflow dari pasar saham dan surat utang.
Baca: Kurs Rupiah Nyaris Sentuh 14.200 Per Dolar As Siang Ini
“Fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya tidak jelek, tetapi yang jadi masalah adalah jumlah dan share foreign hot money yang signifikan di SBN,” kata Eric ketika dihubungi Tempo, Senin. Menurut Eric, porsi asing dalam SBN dan saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) saat ini cukup tinggi.
Porsi kepemilikan asing atas SBN yang tradable saat ini mencapai 40 persen. Sedangkan total kepemilikan saham oleh asing di BEI mencapai 50 persen.
Adapun menurut Analis Binaartha Sekuritas, Reza Priyambada, fundamental ekonomi Indonesia belum terlalu kuat untuk menopang rupiah yang merosot tersebut. “Kalau dibilang kuat seratus persen mungkin belum, tapi sedang menuju perbaikan,” ujarnya.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pada perdagangan Senin siang nyaris menyentuh level 14.200. Pada pukul 12.28, rupiah tercatat melemah ke level 14.198 per dolar Amerika. Padahal analis memprediksi, jika tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina bisa melunak, hal tersebut berpotensi melemahkan posisi dolar Amerika dan kembali mengangkat nilai mata uang lain.
Namun Cina, yang menjanjikan akan mengimpor lebih banyak sejumlah komoditas dari Amerika, dan pihak Washington, yang telah menyatakan menunda mengenakan rencana pengenaan tarif impor atas sejumlah produk asal Cina, tidak juga melunakkan indeks dolar Amerika. Akibatnya, mata uang lain, termasuk rupiah, melemah. Bahkan siang ini nyaris menyentuh level Rp 14.200 per dolar Amerika.
Selain penguatan US$, Eric menilai penyebab anjloknya rupiah tersebut disebabkan arus repatriasi investor asing yang bersifat musiman. “Tekanan terhadap rupiah juga lebih karena arus repatriasi investor asing seasonal, yaitu di kuartal 2 tiap tahunnya, serta sentimen negatif para pelaku pasar dan investor portfolio asing,” ucap Eric.