TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon menilai depresiasi atau pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sudah berada di level yang membahayakan. Dia mengkritik pemerintah untuk serius menanggapi hal ini dengan melakukan tindakan-tindakan antisipatif.
"Depresiasi rupiah saat ini sudah di level membahayakan, pemerintah jangan seolah meninabobokan masyarakat. Nanti kalau terjadi sesuatu, malah lari dari tanggung jawab," ujar Fadli Zon saat ditemui Tempo di Kompleks Parlemen, Senayan pada Kamis, 26 April 2018.
Baca: Rupiah Melemah, Dana Asing yang Keluar Indonesia Meningkat
Seperti diketahui, Dalam pekan ini, rupiah sempat menyentuh level Rp 14.000 per dolar AS dan terus bergerak fluktuatif di kisaran Rp 13.880-13.920. Dalam dua hari ini, rupiah sempat menguat beberapa poin karena intervensi Bank Indonesia.
Menurut Fadli Zon hal ini tidak bisa dianggap angin lalu. Krisis pada 1998 lalu, ujarnya, juga awalnya terjadi karena depresiasi rupiah. "Sekarang depresiasinya juga membahayakan dan ini bisa menggerus devisa. Kalau BI tidak bisa menahan laju depresiasi, bisa jebol nanti," ujarnya.
Sementara itu, menurut Ketua DPR Bambang Soesatyo, saat ini pemerintah tengah bekerja keras, temasuk BI yang melakukan intervensi untuk mengatasi pelemahan rupiah ini. "Kita tentu tidak ingin menembus Rp 14.000 lagi. Saya berharap dalam waktu dekat ini nilai tukar rupiah bisa ditekan turun kembali," ujarnya di lokasi yang sama.
Di lain pihak, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dengan melemahnya rupiah terhadap seiring dengan menguatnya dolar Amerika Serikat. Menurut Sri Mulyani, pergerakan rupiah juga harus memperhatikan pergerakan mata uang lain terhadap dolar itu sendiri.
"Dolar menguat karena kebijakan AS. Kalau kita lihat, pergerakan mata uang negara maju dan negara berkembang kita masih sama malah relatif lebih baik sedikit dengan negara lain," ujar Sri Mulyani di lokasi yang sama.
Sri Mulyani mengatakan, terkait pelemahan rupiah yang terimbas penguatan dolar Amerika Serikat mempengaruhi seluruh mata uang di dunia, bukan hanya Indonesia. "Kalau kita lihat dua hari terakhir saat penguatan dolar sangat terasa, beberapa negara maju bahkan mengalami depresiasi di atas 2 persen. Bahkan India melakukan depresiasi lebih besar karena mereka ingin memacu ekspornya," ujarnya. (*)
Lihat juga video: Sewaktu Mahasiswa Jualan Sop Buntut, Kini Jadi Punya Belasan Kafe