TEMPO.CO, Jakarta - Penyelesaian kisruh transportasi roda dua berbasis aplikasi atau ojek online belum akan diselesaikan melalui pembentukan payung hukum. Padahal, sebelumnya pemerintah telah disarankan merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, untuk menyelesaikan persoalan tarif maupun sistem kerja pengemudi ojek online.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Budi Setiyadi, mengatakan pihaknya masih ingin menjembatani komunikasi antara perusahaan aplikasi dan para pengemudi yang terhubung sebagai mitra kerja. Melalui unjuk rasa, Selasa lalu, kemarin, pengemudi menuntut penyesuaian tarif penumpang ojek online.
Baca Juga:
"Kami tak akan bicara ke arah sana (soal UU), karena masalah tarif ini menyangkut kemitraan aplikator dan pengemudi. Jadi, kita pertemukan dulu untuk penyelesaian, difasilitasi," ujar Budi pada Tempo, Rabu 28 Maret 2018.
Simak: Demo Grab Go-Jek, Jokowi Kaget Tarif Ojek Online Rp 1.600 per Km
Persoalan kemitraan kerja, menurut dia belum juga rampung karena kendala komunikasi antara pengemudi dan otoritas aplikator. "Sebelumnya ada pertemuan, tapi baru perwakilan (aplikator) terus yang hadir. Sekarang kita minta yang bisa memutuskan."
Budi menyebutkan urgensi keterlibatan berbagai sektor untuk menyelesaikan tuntutan pengemudi ojek daring. Meski operasional angkutan diatur Kemenhub, kontrol terhadap aplikator ada di wilayah kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika. "Bahkan Kementerian Ketenagakerjaan juga, karena ini persoalan hitungan upah dan indikator apa saja yang menentukan itu," ucapnya.
Dirjen Aplikasi Informatika Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, mengatakan angkutan berbasis aplikasi serupa Go-Jek dan Grab merupakan konsep anyar dalam sistem transportasi. "Kominfo hanya (terlibat) pada teknis aplikasinya, soal data konsumen dan perlindungannya. Kalau soal proses bisnisnya, tentu sektornya banyak," kata dia saat dihubungi Tempo.
Meski demikian, Semuel tak menampik pihaknya mendukung pengawasan operasional angkutan online. Kemkominfo, kata dia membuat dashboard digital untuk memantau pergerakan ojek maupun taksi online secara real time.
Perangkat itu tengah diperbaharui karena sebelumnya hanya menampilkan data nama pengemudi, nomor plat, serta jenis kendaraan saja.
"Dari 3 item sekarang diminta menambah 5 item lagi seperti SIM, STNK, atau hasil uji kelaikan (Kir). Itu kan butuh waktu dikumpulkan," tutur Semuel.
Anggota Komisi Infrastruktur DPR, Alex Indra Lukman, mengatakan pihaknya terus mendesak pemerintah merumuskan payung hukum untuk ojek online. Adapun operasional taksi online sudah lebih dulu mendapat naungan, yakni Permenhub Nomor 108 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. "Solusinya bisa merancang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) karena ada kekosongan hukum,"
Angkutan roda dua sendiri belum diakui sebagai transportasi umum dalam UU No. 22/2009. Alasannya terkait dengan aspek keselamatan, dimana 60-70 persen kecelakaan jalan melibatkan kendaraan roda dua.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, memberi saran lain. Aplikator, ujarnya, bisa didesak untuk mengakui pengemudi sebagai pekerja terikat, dan bukan mitra.
Saat hubungan kemitraan menjadi kontrak kerja. Kepastian upah pengemudi ojek online bisa diatur kemudian melalui Kemenaker. "Lebih cepat daripada menyusun PM baru yang memakan waktu 3-4 tahun. Syarat untuk mengakui driver sebagai pekerja sudah lengkap, mereka melamar, mereka juga punya upah," ujarnya pada Tempo.
YOHANES PASKALIS PAE DALE | LANI DIANA