TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan, semua bank pemerintah siap melakukan restrukturisasi utang para nelayan cantrang yang berniat mengganti alat tangkap ikan yang ramah lingkungan.
"Jika memang ada nelayan mengalami kredit macet, kami akan memfasilitasinya agar mendapatkan program restrukturisasi sepanjang satu hingga dua tahun," ujar Susi saat memantau pelaksanaan verifikasi dan validasi kapal cantrang di kantor Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tasikagung, Kabupaten Rembang, Selasa, 13 Februari 2018.
Ia mencatat, program tersebut tidak hanya dilayani bank BUMN, melainkan juga bank milik pemerintah daerah, seperti Bank Jateng, yang siap membantu.
Apabila disetujui lembaga perbankan, kata Susi, nantinya nelayan tersebut cukup membayar bunganya, sedangkan pokok utangnya sementara mengalami penundaan pembayaran.
Jika penundaan pembayaran pokok pinjamannya selama dua tahun, kata dia, setelah lewat dua tahun, harus segera dibayar karena program tersebut hanya penundaan pembayaran pokok pinjaman.
Susi mengatakan, selama mendapatkan bantuan program restrukturisasi, nelayan tentunya bisa mempersiapkan diri untuk berganti alat tangkap, karena selama jeda waktu tersebut masih bisa melaut.
"Kalaupun hendak meminjam pinjaman kembali, tentunya harus mempertimbangkan nilai agunan yang dimiliki. Jika tidak mencukupi, tentunya harus menggunakan agunan yang lain," ujarnya.
Susi menegaskan, bantuan yang diberikan kepada nelayan yang mengalami kredit macet hanya untuk nelayan yang benar-benar bersedia mengganti alat tangkap ikan dari cantrang ke alat tangkap ikan yang lebih ramah lingkungan.
Yuli, salah satu pemilik kapal cantrang, mengakui pernah mengajukan pinjaman dengan agunan kapal kayu miliknya, tapi oleh perbankan BUMN ditolak.
Permasalahan tersebut, termasuk mahalnya pajak yang harus dibayarkan, kata Yuli, sudah disampaikan kepada Menteri Susi Pudjiastuti.
Yuli berharap mendapatkan bantuan dari pemerintah, terlebih mengganti alat tangkap ikan juga membutuhkan dana hingga miliaran rupiah.
Selain mahalnya pajak yang harus ditanggung, kata Yuli, biaya operasionalnya selama ini cukup mahal, karena setiap tahun harus melakukan perbaikan kapal yang menghabiskan dana hingga Rp 50-an juta.