Ini Sederet Alasan GIPI Ajukan Uji Materi terkait Kenaikan Pajak Hiburan ke MK
Reporter
Defara Dhanya Paramitha
Editor
Grace gandhi
Kamis, 8 Februari 2024 15:10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) secara resmi telah mengajukan uji materi atau judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, 7 Februari 2024.
Uji materi didaftarkan terhadap Undang-undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang merujuk pada pasal 58 ayat 2 berkaitan dengan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas lima jasa hiburan, yakni diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Melalui kuasa hukumnya, Muhammad Joni, diungkap sejumlah alasan mengapa GIPI menolak dan meminta membatalkan kenaikan pajak hiburan tersebut. Diketahui, pasal tersebut menyebutkan bahwa tarif pajak hiburan atas lima jasa itu ditetapkan pajak paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
“Pertama, ada perlakuan berbeda yang bersifat diskriminatif. Karena ada (pajak) yang diturunkan, tapi mengapa lima jenis ini dinaikkan?” ujar Joni dalam konferensi pers di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu, 7 Februari 2024.
Kedua, kenaikan pajak itu pun tidak ditemukan rujukannya dalam naskah akademis. “Tidak ada logika dan rasio legisnya atau rasio hukumnya, mengapa kelima ini dikualifikasi sebagai yang bersifat mewah dan yang bersifat perlu dikendalikan,” tuturnya.
Selanjutnya: Joni kemudian mencontohkan saat ini ada layanan....
<!--more-->
Joni kemudian mencontohkan saat ini ada layanan karaoke paket hemat, seperti paket dua jam dibayar satu jam. Menurut dia, hal tersebut meruntuhkan argumentasi pembuat undang-undang bahwa kelima jenis hiburan tersebut termasuk dalam produk jasa hiburan mewah.
Ketiga, kata Joni, penerapan tarif pajak baru ini tidak tepat waktu karena belum pulihnya industri hiburan yang menjadi mata rantai penting industri pariwisata. “Terbukti dari kalkulasi angka di DKI Jakarta saja, bahwa realisasi pajak daerah hal ini pajak hiburan masih 1,6 persen yang sebenarnya belum seperti sedia kala yang seperti sebelum 2020 atau sebelum Covid-19,” katanya.
“Itu terbukti dari kalkulasi angka, di DKI Jakarta saja realisasi pajak daerah dalam hal ini pajak hiburan itu masih 1,6 persen yang sebenarnya belum seperti sedia kala seperti sebelum 2020 (sebelum Covid-19),” kata dia.
Keempat, karena penerapan tarif pajak tersebut harusnya sejalan dengan kondisi dan kesempatan berusaha para pelaku industri, khususnya di industri hiburan. “Ini suasana yang penting untuk bisa memengaruhi industri hiburan, industri pariwisata, karena tentu kebijakan tarif pajak itu harus bijaksana, harus terjangkau, dan harus adil,“ ucapnya.
Dengan kondisi ekonomi saat ini, kata Joni, masih diperlukan kebijakan tarif pajak yang mendukung agar membuat situasi nyaman bagi kesempatan berusaha, sehingga dapat menaikkan perkembangan industri ini.
Selanjutnya: Kelima, karena kebijakan kenaikan pajak ini dinilai akan berdampak....
<!--more-->
Kelima, karena kebijakan kenaikan pajak ini dinilai akan berdampak kepada masyarakat luas dan sangat berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM).
“Penting disampaikan kepada publik, ini adalah bagian dari kepetingan publik, kepentingan masyarakat luas. Bukan cuma industri jasa hiburan tapi lebih luas dari situ,” kata dia.
Menurut Joni, industri hiburan ini merupakan bagian social safety net karena industri ini mampu menyerap pekerja tanpa memandang kualifikasi dan standar tertentu.
“Dan kita tidak boleh lupa, terakhir, poin saya, hiburan adalah hak asasi manusia. Kalo baca Deklarasi Umum HAM dan UU Pariwisata No. 10 Tahun 2009 disebutkan di sana bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah hak untuk waktu luang hingga diberi kesempatan untuk berlibur, dan ini bagian yang legal, absah, dan tentu harus menjadi dukungan pemerintah juga.”
Adapun GIPI telah menguji lima pasal yang tertuang dalam UUD 1945, yakni pasal 28D ayat 1, pasal 28I ayat 2, pasal 28G ayat 1, pasal 28H ayat 1, dan pasal 27 ayat 2. Menurut dia, kelima pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 58 Ayat 2 dalam UU No. 1 Tahun 2022 itu.
Dia berharap hasil pengujian materi ini dapat mencabut pasal dimaksud, sehingga penetapan PBJT yang termasuk dalam jasa kesenian dan hiburan adalah sama, yaitu antara 0 hingga 10 persen.
Pilihan Editor: Unilever Ungkap Dampak Aksi Boikot Israel: Sentimen Negatif Paling Terasa di Padang dan Aceh