TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan pasar ekspor perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat sempat berada di posisi kedua pada 15 tahun lalu setelah Jepang. Namun, saat ini, peran Amerika sebagai pasar ekspor Indonesia mulai menurun di posisi tiga, seiring dengan berkembangnya pasar ekspor Indonesia ke negara ASEAN. Salah satunya Cina.
Dengan begitu, menurut Mirza, Indonesia seharusnya tidak masuk daftar negara yang merugikan Amerika. "Jadi, intinya, kita harus waspada. Perlu pembicaraan negosiasi dengan pemerintah Amerika untuk meyakinkan bahwa Indonesia tidak termasuk negara yang dianggap mengambil atau melakukan currency unfair trade. Itu harus bisa kita yakinkan," ujarnya di Museum Bank Indonesia, Rabu, 5 April 2017.
Baca Juga:
Baca: Harga Emas Turun, Investor Lari ke Pasar Saham
Mirza menuturkan, dalam jangka panjang, Indonesia harus meningkatkan diversifikasi ekspor ke negara-negara potensial lain, seperti Eropa dan Afrika, juga ke berbagai negara Asia lain yang sekarang tumbuh. "Mungkin 20 tahun lalu kita tidak bicara Myanmar, sekarang kita lihat Myanmar tumbuh, Vietnam dan Kamboja kita lihat tumbuh bagus, itu bisa dijadikan pasar ekspor kita," katanya.
Beberapa waktu lalu Donald Trump kembali mengeluarkan kebijakan dengan menerbitkan executive order yang mencantumkan negara-negara yang dianggap menyebabkan defisit. Dalam daftar tersebut Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu negara yang merugikan neraca perdagangan Amerika. Menurut Bank Indonesia, berdasarkan tiga kriteria yang ditetapkan, seharusnya Indonesia tidak termasuk.
Simak:
KCIC dan HSRCC Resmi Garap Kereta Cepat Jakarta Bandung
Diperbolehkan Ekspor, Harga Saham Freeport Naik 2,3 Persen
"Apakah Indonesia menyebabkan defisit Amerika sampai US$ 20 miliar, enggak, Indonesia surplusnya hanya US$ 13 miliar. Itu pun produk yang dikirim memang produk yang Amerika tidak produksi, ada garmen, tekstil. Amerika membeli produk seperti kapal terbang dan teknologi tinggi yang memang Indonesia sampai saat ini pun belum bisa produksi," ucap Mirza.
Kriteria kedua, negara disebut merugikan Amerika apabila neraca berjalannya (current account) surplus. Sedangkan ekspor dan impor barang dan jasa Indonesia ke Amerika masih defisit. Ketiga, Indonesia juga tidak termasuk negara yang melakukan intervensi valuta asing dengan cara melemahkan nilai tukar mata uang sendiri agar harga ekspor menjadi lebih murah.
Adapun Bank Indonesia melakukan intervensi dengan maksud menjaga stabilitas pasar dan tidak membuat rupiah lemah, tapi stabil. "Jadi tiga kriteria itu jelas tidak masuk. Tapi bisa saja Amerika melihat dari faktor lain, apakah ada subsidi, apakah mengenai faktor perburuhan," ucap Mirza.
DESTRIANITA