TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan masih mencari cara agar gas Lapangan Abadi Blok Masela di Laut Arafura, Maluku, bisa dipakai untuk kebutuhan dalam negeri. Salah satu caranya, kata Wakil Menteri Energi Arcandra Tahar, adalah menambah porsi gas pipa (compressed natural gas/CNG) dibanding dengan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG).
Menurut Arcandra, pengembangan gas pipa lebih murah karena hanya membutuhkan fasilitas pipa tambahan. Sebaliknya, harga LNG lebih mahal lantaran membutuhkan ongkos tambahan, seperti regasifikasi dan biaya angkut.
Saat ini, Arcandra menambahkan, Kementerian Energi tengah membidik penyerap gas yang berasal dari industri pupuk dan petrokimia. Gas juga bisa dipakai industri lain, seperti oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet, apabila harganya kompetitif. Sektor tersebut termasuk prioritas penggunaan gas murah yang menjadi amanat Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016.
"Kami mau mencari pembeli gas dulu. Tiga bulan kami mencari pembeli. Sudah ada beberapa yang berminat," ujar Arcandra di kantornya, seperti dikutip dari Koran Tempo edisi Jumat, 4 Juli 2017.
Simak: Perubahan Skema Blok Masela Butuh Jaminan Pemerintah
Jika gas Blok Masela laku, Kementerian Energi bakal menambah porsi gas pipa dari 150 juta menjadi 474 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Produksi LNG bakal berkurang dari 9,5 juta menjadi 7,5 juta metrik ton per tahun. Blok Masela memiliki cadangan gas sebesar 27,6 triliun kaki kubik.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian mengusulkan jatah gas pipa sebesar 474 MMSCFD kepada PT Pupuk Indonesia yang meminta jatah 214 MMSCFD untuk diolah menjadi metanol, polypropylene, hingga pupuk. PT Kaltim Metanol Industri juga meminta 100 MSCFD gas untuk diolah menjadi metanol. Sedangkan PT Elsoro Multi Pratama akan mengolah 160 MMSCFD menjadi metanol, propylene, dan gasolin. Calon investor lain adalah Chandra Asri, yang ingin mengolah gas menjadi metanol. Kebutuhan investasi diperkirakan melebihi US$ 4,5 miliar. Direktur Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam mengatakan PT Pertamina (Persero) juga akan menyerap gas Masela hingga 200 MMSCFD.
Empat perusahaan itu, Khayam menuturkan, bakal membentuk perusahaan patungan untuk mengelola kawasan industri petrokimia yang terletak tidak jauh dari kilang gas Masela. "Konsorsiumnya gemuk supaya bisa meng-cover dana yang besar," ucapnya, beberapa waktu lalu.
Saat ini proyek gas Masela masih dalam tahap penyusunan rencana pengembangan (plan of development/POD) oleh Inpex, kontraktor asal Jepang. Perusahaan ini lebih dulu mencari mitra untuk mengkaji pengangkutan gas dari mulut sumur, pemisahan gas dan kondensat melalui fasilitas terapung (floating processing storage and offloading), serta kilang pengolahan gas alam cair di kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Inpex juga masih membahas usul anggaran proyek bersama SKK Migas sejak Mei lalu. "Kami akan terus bekerja sama dengan pemerintah untuk mempercepat pelaksanaan proyek," kata juru bicara Inpex, Usman Slamet. Berdasarkan rencana Inpex, konstruksi proyek bisa dimulai pada 2022. Sedangkan gas baru akan disedot pada 2026, atau mundur empat tahun dari rencana semula. Proyek Blok Masela terlambat lantaran revisi POD yang diajukan Inpex pada Oktober 2015 ditolak pemerintah.
ROBBY IRFANY