TEMPO.CO, Jakarta – Produsen kabel akan mengajukan sertifikasi standar nasional Indonesia untuk kabel telekomunikasi jenis serat optik guna meningkatkan daya saing pabrikan impor.
Noval Jamalullail, Ketua Umum Asosiasi Pabrik Kabel Listrik Indonesia (Apkabel), mengatakan utilisasi kabel serat optik hanya mencapai 60 persen pada kuartal I 2017. Padahal kapasitas produksi kabel jenis ini dapat mencapai 9.000 kilometer per bulan. Hasilnya, kapasitas produksi lebih tinggi dibanding kemampuan pasar untuk menyerap serat optik.
“Saat ini (sertifikasi) masih dalam tahap penyusunan draf, harapannya bisa segera diserahkan kepada Badan Standardisasi Nasional untuk dikaji,” ujar Noval kepada Bisnis, Rabu, 31 Mei 2017.
Noval optimistis pertumbuhan pasar serat optik buatan pabrikan lokal akan naik berkat SNI. Perusahaan telekomunikasi masih memasok kabel serat optik impor, termasuk dari Cina. Ketiadaan persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk serat optik membuat perusahaan telekomunikasi leluasa mengimpor kabel. TKDN pada saat ini baru diterapkan pada kabel listrik saja.
Produk kabel asal Cina diklaim lebih murah karena mendapat potongan subsidi pajak senilai 17 persen.
“Cina mendapat subsidi pajak senilai 17 persen. Kalau komponen biaya angkut dari Cina ke pasar domestik senilai 7 persen, Cina masih mendapatkan keuntungan hingga 10 persen,” ujar Noval.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian merilis bahwa permintaan serat optik semakin meningkat seiring dengan kebutuhan industri digital global yang terus mengikuti perkembangan teknologi terbaru. Kebutuhan serat optik di Indonesia diproyeksi mencapai 8-9 juta kilometer per tahun dan berpotensi naik tinggi dalam jangka waktu pendek.
Permintaan serat optik salah satunya ditopang oleh proyek Palapa Ring yang memerlukan serat optik hingga 36 ribu kilometer. Selain itu, proyek kabel serat optik bawah laut dan permintaan koneksi pita lebar (broad-hand) rumah tangga yang mencapai 70 juta rumah tangga juga menggerakkan pasar kabel serat optik.