TEMPO.CO, Jakarta - Lima peti kayu mirip makam berjajar di depan Istana Negara, Jakarta. Siang itu, ketika matahari sedang terik-teriknya, lima lelaki berbaring di setiap peti. Sekujur tubuh mereka ditimbun tanah dengan bunga tabur berada di atasnya.
Kelimanya adalah petani dari Telukjambe, Karawang, Jawa Barat. Sudah sejak pagi mereka “mengubur” diri. Bersama puluhan petani yang turut datang, tuntutan mereka tak berubah dari aksi bulan sebelumnya: Presiden Jokowi harus segera menyelesaikan persoalan agraria. "Kami terusir dari tanah kami sendiri. Rumah dan ladang sudah tergusur,” kata Dewan Pembina Serikat Tani Telukjambe Bersatu, Aris Wiyono, yang memimpin demonstrasi, kutip Majalah Tempo edisi Senin 1 Mei 2017.
Baca: Reformasi Agraria, 135 Koperasi Dapat Redistribusi Lahan
Ini adalah aksi kedua para petani Telukjambe. Pada pertengahan Maret, 15 petani nekat berjalan kaki dari rumah mereka di Telukjambe Barat ke Istana Negara. Jaraknya 77 kilometer. Mereka mewakili 150 petani Blok Kutatandingan yang terlibat sengketa tanah dengan perusahaan swasta, PT Pertiwi Lestari.
Konflik antara petani dan perusahaan di Karawang ini mengemuka pada 11 Oktober 2016. Gara-garanya, buldoser perusahaan meratakan kebun dan tanaman milik petani. Warga Telukjambe Barat yang naik pitam terlibat perkelahian dengan petugas keamanan perusahaan. Buntutnya, sebelas petani menjadi tersangka. Sebanyak 187 kepala keluarga pun terpaksa kehilangan lahan, mata pencaharian, dan tempat tinggal.
Baca: Jokowi: Masih Ada Penguasaan Lahan Besar oleh Korporasi
Terbelit konflik serupa, Komunitas Dayak Meratus masih bernasib lebih baik. Masyarakat Dayak yang mendiami lereng pegunungan Meratus, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan ini tak sampai harus kehilangan lahan. Namun, sejak awal tahun, mereka berjibaku menuntut pengakuan atas tanah adat mereka. Miso, Koordinator Masyarakat Dayak Meratus, mendesak pemerintah menghentikan tindakan perampasan tanah adat oleh perusahaan swasta.
Aksi masyarakat Dayak Meratus ini diikuti sebagian warga Dayak asal Kabupaten Kotabaru, Dayak Tabalong, Balangan, Banjar, dan Hulu Sungai Tengah. “Mereka terpanggil karena merasa senasib, karena kami sudah banyak dizalimi,” ujar Miso, Selasa 25 April 2017.
Perseteruan agraria ini mendesak pemerintah mempercepat pelaksanaan program reforma agraria. Pada Sabtu dua pekan lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan kembali komitmennya mewujudkan reforma agraria yang berkeadilan untuk rakyat. Apalagi konflik agraria semakin meningkat dari tahun ke tahun. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat, terjadi 450 konflik agraria sepanjang 2016, naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 252 kasus.
Jokowi mengatakan pemerintah sedang menggodok skema penyaluran lahan. Cara ini diyakini manjur menekan konflik antara rakyat dan korporasi lantaran perebutan lahan. “Tapi saya tidak mau hanya membagi-bagi, kemudian tanah itu dijual lagi oleh rakyat kepada orang gede-gede,” kata Jokowi saat membuka Kongres Ekonomi Umat di Jakarta.
Baca: Bagikan 1.158 Sertifikat Lahan Gratis, Jokowi: Jangan Buat Mobil
Sehari sebelumnya, dalam peluncuran Kebijakan Pemerataan Ekonomi dan Reforma Agraria di Boyolali, Jawa Tengah, Jokowi membagikan 10.055 sertifikat tanah Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA). Menurut dia, sertifikat adalah tanda bukti kepemilikan tanah agar pemilik lahan tidak terlibat konflik dengan sesama masyarakat, perusahaan, dan instansi.
Pemerintah mencatat ada 21,7 juta hektare lahan yang siap dibagikan ke masyarakat. Bentuknya berupa legalisasi aset seluas 4,5 juta hektare dan redistribusi tanah 4,5 juta hektare. Sedangkan 12,7 juta hektare sisanya dibagi berupa pemberian hak pengelolaan hutan kepada rakyat. Presiden memastikan izin yang selama ini diberikan kepada korporasi akan dialihkan kepada rakyat dalam kurun waktu tertentu.
Hingga awal Februari kemarin, pemerintah telah membagikan sekitar 1,7 juta hektare tanah ke masyarakat melalui program reforma agraria yang berjalan sejak 2015. Rinciannya, pada 2015 sekitar 700 ribu hektare tanah dan 1 juta hektare pada tahun berikutnya. Pada akhir tahun lalu, pemerintah juga mengakui keberadaan sembilan kelompok masyarakat hukum adat dengan memberikan lahan seluas 12.544 hektare untuk 5.712 keluarga.
Kebijakan reforma agraria yang digadang-gadang Presiden Joko Widodo bukan ide baru. Perjalanan program redistribusi tanah ini sudah timbul-tenggelam sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia. Presiden Sukarno, yang pertama-tama menyusun program redistribusi ini, merujuk Undang-Undang Pokok Agraria 1960. “Sukarno menasionalisasi perkebunan-perkebunan yang semula dikuasai Belanda menjadi milik pemerintah,” kata Staf Khusus Kepala Staf Kepresidenan, Noer Fauzi Rachman, saat ditemui di kantornya, Selasa 25 April 2017.
Sempat meredup, visi serupa muncul lagi pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lewat Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, reformasi agraria dibungkus dengan nama Program Pembaruan Agraria Nasional. Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto, yang ditunjuk mengawal program redistribusi 1,1 juta hektare tanah negara, 8,15 juta hektare hutan konversi, dan 7 juta hektare tanah telantar itu. Reformasi lahan itu berakhir tanpa hasil memuaskan akibat persoalan ego sektoral antar-institusi.
Janji reforma agraria mengemuka lagi saat Joko Widodo maju sebagai calon presiden pada 2014. Fauzi, yang kala itu menjadi Ketua Kelompok Kerja Petani, Pertanian, dan Kehutanan di Rumah Transisi, mengatakan konsep land reform yang digadang-gadang Jokowi saat itu punya satu tujuan: menyejahterakan petani. “Indikatornya antara lain pembentukan badan penyelesaian konflik, inisiasi hak kelola penuh desa atas lahan pertanian dan hutan di kawasan hutan, protes-protes berkurang, dan persentase penanganan konflik agraria meningkat,” kata Fauzi.
Implementasi program ini rupanya tersendat. Lewat dua tahun masa pemerintahan Jokowi, redistribusi lahan baru terealisasi 1,7 juta hektare. Padahal Nawacita memuat janji Jokowi untuk melakukan reforma agraria sampai 9 juta hektare sepanjang 2015-2019.
Demi memenuhi janjinya, Presiden Jokowi menyatakan lagi komitmennya saat berpidato pada 4 Januari 2017 di Istana Bogor, Jawa Barat. Ia memastikan dua komponen utama reforma agraria, yakni redistribusi tanah seluas 4,5 juta hektare dan sertifikasi tanah seluas 4,5 juta hektare, akan dikebut tahun ini. Langkah ini, menurut dia, bisa mengurangi konflik akibat ketimpangan sosial atas penguasaan aset tanah di masyarakat.
Sebagai lembaga yang kebagian tugas memimpin program ini, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mesti bekerja cepat. Apalagi setumpuk pekerjaan rumah mesti diselesaikan, salah satunya soal kepastian ketersediaan lahan. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, dalam waktu dekat ada lahan transmigrasi seluas 220 ribu hektare dan 3.800 hektare untuk Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona), yang siap dilegalisasi dari total 4,5 juta hektare.
Lahan lain berupa tanah telantar juga tersedia. Tercatat ada 23 ribu hektare tanah telantar dan 707 ribu hektare dari pelepasan hutan untuk memenuhi kebutuhan redistribusi sebesar 4,5 juta hektare. Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) itu tersebar di sejumlah provinsi, antara lain Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Maluku.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membantu dengan menyediakan lahan kawasan hutan untuk program perhutanan sosial yang ditargetkan seluas 12,7 juta hektare. Ada lahan 211.522 hektare untuk 48.911 kepala keluarga dengan jumlah izin mencapai 134 yang bisa didistribusikan untuk akses pengelolaan hutan sosial. “Tahap awal launching difokuskan ke sebelas desa dengan total luas 15.576 hektare untuk 9.411 KK,” kata Darmin dalam keterangan tertulis, Selasa 25 April 2017.
Identifikasi lahan untuk program legalisasi lahan transmigrasi tahap awal pun rampung. Menurut Darmin, sejauh ini ditemukan 342.344 bidang lahan transmigrasi atau sekitar 220 ribu hektare yang belum disertifikasi. Sebanyak 66,32 persen di antaranya sudah berstatus hak penggunaan lahan (HPL). “Perlu fokus untuk melegalisasi lahan ini karena prosesnya lebih cepat dibanding yang lain,” kata Darmin. Lahan transmigrasi tersebut tersebar di Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Timur.
Meski bekerja serba cepat, Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Montty Girianna memastikan program ini bukan sekadar bagi-bagi lahan. Sebab, data atas lahan-lahan yang tersedia belum sebanding dengan jumlah petani tanpa lahan yang mencapai 13,57 juta orang. Pemerintah masih harus menagih 20 persen hak masyarakat dari kawasan hutan untuk perkebunan yang selama ini dikelola perusahaan swasta.
Keberadaan lahan yang mayoritas tersebar di luar Jawa menjadi tantangan tersendiri. Padahal petani yang membutuhkan tanah garapan berada di Pulau Jawa. “Tidak masuk akal kalau konsep ini disebut bagi-bagi lahan,” kata Montty. “Jadi, yang paling mungkin mendapat tanah adalah kelompok yang paling termarginalisasi.”
Anggota Policy Advisor dan Tim Asistensi Menteri Koordinator Perekonomian, Lin Che Wei, mengatakan bahwa kelompok masyarakat yang menjadi prioritas menerima manfaat program ini adalah petani, pekebun, petambak, perajin, dan buruh. Che Wei menghitung, dengan target penyaluran lahan sebanyak 21,7 juta hektare, jika menggunakan konsep klaster, tiap orang akan mendapat rata-rata 0,6 hektare. “Mungkin program ini bisa menyentuh 30-40 juta orang,” kata Chi Wei.
Meski pemerintah sudah menentukan subyek penerima dan obyek TORA, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meminta pemerintah tetap melibatkan masyarakat untuk mengusulkan wilayah yang ingin dijadikan pelepasan hutan. Sebab, menurut Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, selama ini usul tata ruang hanya datang dari pemerintah daerah ke pusat. “Ada kekhawatiran program ini berpotensi tidak tepat orang dan tidak tepat lokasi.”
ABDUL MALIK | AYU PRIMA SANDI | AGUS SUPRIYANTO | CAESAR AKBAR | KHAIRUL ANAM | DIANATA P SUMEDI