TEMPO.CO, Jakarta - Dalam setahun terakhir, wajah kampung-kampung di kawasan Alas Roban, Batang, Jawa Tengah, berubah total. Desa Ujungnegoro, Karanggeneng, dan Ponowareng, yang ketiganya terletak di Kecamatan Kademan, kini ramai dengan aktivitas warga. Bagian kiri dan kanan jalan-jalan di kampung itu penuh warung makan.
Penggerak perubahan suasana tersebut adalah para pekerja proyek pusat pembangunan pembangkit listrik PT Bhimasena Power Indonesia atau lebih dikenal sebagai PLTU Batang. Keberadaan ribuan pekerja itu menjadi pemicu bangkitnya ekonomi warga. “Dagangan saya laris,” kata Rozikin, pedagang minuman kemasan, kepada Tempo, Kamis, 30 Maret 2017.
Baca: Penjualan Listrik PLTU Batang Ditargetkan Mulai 2020
Menurut Rozikin, desa-desa yang berada tak jauh dari Pantai Ujungnegoro di pesisir Pantai Utara Jawa itu dulu sangat sepi. Mayoritas warga hidup seadanya. Mereka hanya mengandalkan pertanian tegalan, kebun sengon laut, dan menangkap ikan. Geliat aktivitas ekonomi baru terlihat sejak proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap dimulai setahun lalu.
Baca: Koalisi LSM Kembali Protes Menolak PLTU Batang
Pelaksana tugas Bupati Batang, Nasihin, mengaku bersyukur atas perubahan itu. Menurut dia, keberadaan proyek pembangkit tersebut berperan penting menggairahkan perekonomian warga.
Hingga saat ini, proyek PLTU Batang memang sudah menyerap sekitar 2.000 tenaga kerja dan 40 persen di antaranya merupakan pekerja lokal yang terlibat dalam konstruksi pembangkit. “Sekarang, pembangunan fisiknya mungkin sudah 45 persen,” kata Nasihin.
Ironisnya, pembangunan pembangkit berkapasitas 2x1.000 megawatt itu sempat terkatung-katung hampir empat tahun. Seharusnya, PLTU Batang sudah mulai beroperasi tahun ini. Sekarang, target beroperasinya diundur hingga 2020.
AGUS SUPRIYANTO | AYU PRIMA SANDI | EDI FAISOL