TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan berkolaborasi dengan kementerian terkait untuk mendata kebutuhan jumlah tenaga kerja di Indonesia.
Rencana tersebut merupakan tindak lanjut dari surat edaran Menristekdikti Nomor 2/M/SE/IX/2016 tentang Pendirian Perguruan Tinggi Baru dan Pembukaan Program Studi. Dalam beleid tersebut, Kemenristekdikti menyatakan moratorium pendirian perguruan tinggi baru mulai berlaku per 1 Januari 2017.
Baca: PLN Amankan Pasokan Listrik 101 Daerah di Pilkada Serentak
“Kementerian terkait misalnya Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perindustrian bahkan tidak memiliki data yang akurat mengenai kebutuhan tenaga kerja di Indonesia. Berapa banyak jumlahnya, level pekerjaan seperti apa, data semacam ini kami tidak memiliki,” kata Direktur Pembinaan Kelembagaan Perguruan Tinggi Kemenristekdikti Totok Prasetyo di Jakarta, Rabu, 15 Februari 2017.
Melalui moratorium, pihaknya terus melakukan evaluasi mulai dari kinerja atau prestasi perguruan tinggi terkait, hingga rasio jumlah mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi. Tidak menutup kemungkinan, dirinya mengungkapkan jumlah perguruan tinggi yang saat ini mencapai 4.455 menjadi berkurang.
Berdasarkan penilaian sementara, Totok menjelaskan jumlah perguruan tinggi tersebut terlalu banyak jika dibandingkan dengan populasi Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa. Dari 4.455 perguruan tinggi yang ada, jumlah program studi sudah lebih dari 27.000.
Baca: Pengembang Ini Kasih Diskon Rp 101 Juta Karena Pilkada
Sayangnya, hanya 35 persen perguruan tinggi yang memiliki program studi Science, Technology, Engineering, and Mathematic (STEM). Untuk mengakomodasi hal tersebut, moratoriumtersebut mengecualikan perguruan tinggi baru dengan program studi STEM dan vokasi.
“Dari 4.455 perguruan tinggi di Indonesia, hanya 1.125 saja yang terakreditasi secara institusi dan hanya 50 institusi yang memiliki akreditasi A,” ucapnya.
Selain ketimpangan antara kualitas dan kuantitas perguruan tinggi, Indonesia juga mengalami mismatch antara kebutuhan industri dengan perguruan tinggi. Alhasil, banyak lulusan sarjana di Indonesia yang bekerja tidak sesuai dengan keahliannya.
“Saya baru saja mengikuti ‘The 1st Indonesia- Netherlands Joint Working Group (JWG) on Higher Education and Science (HES)’ dan mengetahui bahwa di Belanda, perguruan tinggi dan industri memiliki hubungan yang erat,” ujarnya.
Dengan adanya hubungan yang erat antara industri dan perguruan tinggi, Totok mengatakan perguruan tinggi akan menyesuaikan eksistensinya dengan kebutuhan tenaga kerja sehingga lulusannya memiliki arah yang jelas dalam karirnya.