TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), Eko Budiwiyono, mengatakan kebanyakan bank pembangunan daerah (BPD) masih enggan melepas saham ke publik dengan melakukan initial public offering (IPO). Salah satunya alasannya adalah khawatir kepemilikan saham mereka berkurang.
Kekhawatiran tersebut juga diperburuk oleh tingkat return on equity (ROE) BPD yang cukup besar, yaitu di atas 20 persen. "Padahal sebagian besar BPD di Indonesia juga modalnya terbatas," kata Eko di Jakarta, Selasa, 18 Maret 2014. Selain itu, dengan adanya aturan kelompok bank (BUKU), desakan tambahan modal akan semakin besar.
Eko mengatakan, dari 26 BPD anggota Asbanda, hanya satu bank yang masuk BUKU III. Tiga belas BPD lainnya hanya memiliki modal di bawah Rp 1 triliun atau tergolong BUKU I, sedangkan sisanya masuk BUKU II. Untuk itu, BPD memerlukan instrumen agar mampu meningkatkan modal mereka.
Saat ini baru ada dua BPD yang tercatat sebagai emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI), yaitu PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR) serta PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (BJTM).
Karena BPD merupakan perusahaan milik pemerintah daerah, mereka harus melihat kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk melakukan IPO. Umumnya, jika APBD sebuah daerah masih mampu membiayai kegiatan operasionalnya, BPD tersebut tak akan melakukan IPO.
Kodisi tersebut menurut Eko terjadi pada bank yang dipimpinnya, yaitu PT Bank DKI. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini memiliki pendanaan yang kuat sehingga Bank DKI belum perlu melakukan IPO.
Awal tahun ini saja pemerintah DKI akan menambah modal Bank DKI Rp 1 triliun. Dengan demikian, modal Bank DKI bertambah menjadi Rp 3,6 triliun. Dia menargtekan pada 2015 Bank DKI mampu masuk BUKU III. "Agar kami bisa melakukan ekspansi, tak hanya di Jakarta."
FAIZ NASHRILLAH
Berita terpopuler:
Pemilu Sumbang Pertumbuhan Ekonomi 0,1 Persen
Inflasi Februari 2014 Turun
Budi Mulya: FPJP Century Sudah Dikembalikan ke BI
BI Nilai Pasar Keuangan Lebih Efisien