TEMPO.CO, Balikpapan - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) meminta seluruh pemerintah daerah agar merumuskan kebijakan pengendalian pemakaian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Peran daerah diperlukan agar pengalokasian kuota BBM bersubsidi cukup.
“Pemerintah daerah mesti mengeluarkan aturan pengendalian,” kata Kepala Kelompok Kerja Pengaturan dan Pengawasan Penyediaan dan Pendistribusian BBM BPH Migas, Henry Achmad, Sabtu, 18 Februari 2012.
Henry mengatakan ada penambahan kuota BBM bersubsidi yang diberikan pada masing-masing kabupaten/kota. Pengendalian BBM bersubsidi diharapkan sesuai peruntukannya.
Salah satu cara yang bisa diambil oleh pemerintah adalah mewajibkan kendaraan industri, seperti dump truck, trailer, dan mixer, menggunakan BBM nonsubsidi.
Sebagai alternatifnya, harus ada penyediaan stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) khusus yang menjual BBM solar nonsubsidi yang biasa digunakan oleh kendaraan berat.
Selain itu, konsumsi penggunaan BBM juga harus dibatasi sesuai dengan penggunaan wajar. Henry mencontohkan sepeda motor yang hanya diperkenankan membeli BBM bersubsidi sebanyak 3 liter per hari.
“Tentu ini harus ada pengawasan dan penegakan hukum secara rutin, terpadu, dan terkoordinasi antara instansi terkait,” tuturnya.
Henry mengungkapkan selisih harga antara Premium dan Pertamax sebelum disubsidi hanya sekitar Rp 150 hingga Rp 200 per liter. Ketika pemerintah memberi subsidi dan harga minyak terus melonjak, tentu beban anggaran akan semakin besar.
Untuk itu, dia mengharapkan disparitas harga antara BBM bersubsidi dan nonsubsidi tidak terlalu besar. Apabila disparitas yang besar ini tidak dikurangi, dia khawatir potensi penyelewengan oleh oknum yang memanfaatkan situasi akan bertambah besar.
Premium, Henry berpendapat, sudah tidak layak lagi untuk digunakan sebagai bahan bakar bagi kendaraan buatan tahun 1990-an hingga sekarang. Efek samping yang ditimbulkan oleh penggunaan Premium perlu dikaji sehingga bisa diketahui kelayakan penggunaan Premium.
S.G. WIBISONO