TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerintah akan membatasi jangka waktu proses pengadaan tanah untuk pembangunan maksimal 439 hari. Pembatasan ini akan diatur dalam Rancangan Undang-undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang saat ini tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Yuswanda AT, pembatasan tersebut ditetapkan untuk memberikan kepastian waktu dan investasi sekaligus mengurangi keberadaan spekulan bagi proses pembebasan lahan.
“Ini batas maksimal untuk kondisi terburuk, jika proses pembebasan lahan susah. Tapi kalau berjalan lancar tentu lebih cepat,” ujarnya, Selasa, 18 Oktober 2011.
Jangka waktu maksimal selama 439 hari itu dialokasikan untuk setiap proses, mulai dari penetapan lokasi, penyuluhan, negosiasi, identifikasi, inventarisasi, penilaian harga tanah oleh lembaga appraisal, keputusan, pembayaran ganti rugi, hingga pelepasan hak.
Saat ini pembahasan rancangan aturan ini sudah mencapai 40 persen. Dari sekitar 279 daftar inventaris masalah (DIM) yang ditetapkan, 51 poin sudah dibahas oleh panitia kerja RUU tersebut.
Yuswana optimis rancangan ini kelar akhir tahun. “Undang-undang ini disiapkan untuk bisa diimplementasikan tahun depan,” kata dia.
Namun Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Budiman Sujatmiko, pesimistis aturan itu bisa kelar dibahas akhir tahun ini. “Karena banyaknya DIM yang dibahas,” ujarnya. Selain itu, pembahasan ini melibatkan banyak fraksi.
Bima Priya Santosa, Direktur Paramadina Public Policy Institute, menilai salah satu penghambat pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah ketidakjelasan peraturan pertanahan dan implementasinya. “Daya saing infrastruktur nasional terbilang rendah,” kata dia.
Data studi World Economic Forum menyebutkan daya saing perekonomian Indonesia berada pada posisi ke-46 dunia, jauh di bawah Singapura (2), Malaysia (21), Cina (26) dan Thailand (39). Salah satu faktor penyebab rendahnya daya saing adalah tidak kompetitifnya infrastruktur di Indonesia yang berada pada ranking 82 dunia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan lembaganya, ia menyebut tren pengadaan tanah di berbagai negara makin susah dilakukan. Hal ini disebabkan karena ketidakpuasan masyarakat, makin kuatnya lembaga peradilan serta tekanan pers.
Untuk itu, diperlukan penguatan kewenangan pemerintah untuk membebaskan tanah melalui penerbitan regulasi. Kewenangan ini hanya akan efektif jika aparat pemerintah memiliki integritas dan tak memiliki kepentingan dalam melaksanakan tindakannya. “Buruknya reputasi pemerintah menyebabkan resistensi dari masyarakat,” ujarnya.
Selain kewenangan, pemerintah juga harus menghormati hak-hak pemilik tanah. Ia mencontohkan, pembebasan tanah di Jepang dan Australia yang tidak hanya memperhitungkan ganti rugi tanah dan benda-benda di atasnya, tapi juga menghitung kerugian yang timbul akibat akuisisi lahan, seperti hilangnya potensi dari proses pemindahan bangunan. “Ini belum diakomodir oleh regulasi di Indonesia,” kata dia.
Budiman berharap pembebasan lahan untuk proyek-proyek infrastruktur yang berorientasi laba juga harus memperhitungkan berimbas pada masyarakat pemilik tanah. “Masyarakat yang dulu memiliki lahan itu juga harus merasakan manfaatnya,” kata dia. Hal ini bisa dilakukan dengan model bagi untung ataupun saham.
NUR ROCHMI