TEMPO Interaktif, Jakarta -Optimisme pelaku perdagangan di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi setelah India dan Uni Emirat Arab.
Hal ini merupakan hasil survei HSBC (Hongkong and Shanghai Banking Corporation) Trade Confidence Monitor tengah tahun kedua tahun 2010. Survey tersebut dilakukan oleh perusahaan independen TNS (Taylor Nelson Sofres) terhadap 5.124 eksportir dan importir di 17 negara, dari tanggal 19 Juli 2010 hingga 1 September 2010.
Khusus di Indonesia, survei dilakukan terhadap 300 responden . Survei ini bertujuan untuk mengukur sentimen dan ekspektasi terhadap aktivitas perdagangan ineternasional dan pertumbuhan bisnis dalam 6 bulan mendatang.
Dari ke-17 negara tersebut, secara umum berpandangan positif terhadap prospek perdagangan internasional pada semester II 2010, namun negara yang dinilai mempunyai tingkat kepercayaan tertinggi adalah India, Uni Emirat Arab, Indonesia, dan Mexico.
Sedangkan tingkat kepercayaan di Cina dan Vietnam justru merosot dibandingkan semester I 2010. Sebelumnya, pada semester I 2010 yang tercatat sebagai negara paling optimistis adalah Uni Emirat Arab, India, dan Vietnam. Indonesia pada semester I menduduki posisi ke-5.
Menurut Head of Trade and Supply Chain HSBC Indonesia Vincent C. Sugianto, ada dua faktor fundamental yang menjadi pendorong para responden berpandangan positif terhadap prospek perdagangan Indonesia di antaranya kestabilan ekonomi dan politik di Indonesia.
"Indonesia, sebagaimana pandangan global akan perdagangan internasional, akan tetap berada dalam zona positif, meskipun ketidakpastian ekonomi di negara maju tetap berlanjut dan ekonomi negara berkembang masih fluktuatif," kata Vincent, Kamis (30/9), di gedung Balai Kartini.
Hasil survey menunjukkan, responden berpandangan bahwa volume perdagangan Indonesia akan meningkat (51 persen), resiko transaksi dari penjual (30 persen) maupun pembeli (31 persen) akan berkurang, dan perekonomian global akan terus tumbuh (51 persen).
Responden juga menilai kebutuhan pembiayaan perdagangan akan meningkat (60 persen), dan akses kepada pembiayaan perdagangan internasional juga meningkat (50 persen). Menurut Vincent, Bank menjadi salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan tersebut. Namun berdasarkan survei, tidak banyak responden yang memprioritaskan bank sebagai salah satu sumber pembiayaan (26 persen).
Fluktuasi nilai tukar (46 persen) serta regulasi perdagangan (44 persen) dinilai merupakan kendala utama dalam pertumbuhan bisnis ekspor dan impor. Khusus untuk fluktuasi nilai tukar, walaupun menjadi salah satu kendala dalam perkembangan usaha, namun reponden justru berpandangan bahwa nilai tukar akan berdampak positif pada mereka (31 persen). Sedangkan untuk regulasi pemerintah, hanya sedikit responden yang berpandangan akan memberikan dampak positif bagi kegiatan dagang yang mereka lakukan (12 persen).
Untuk negara yang berpotensi menjadi tujuan perdagangan internasional bagi pengusaha Indonesia dalam 6 bulan mendatang adalah Cina (27 persen) dan Asia Tenggara (27 persen) berpotensi menjadi negara tujuan utama. Selanjutnya, Eropa Timur/Tengah kecuali Jerman (8 persen), negara Asia lainnya (6 persen), dan USA atau Kanada (5 persen) juga berprospek menjadi negara tujuan perdagangan. Mata uang dollar AS masih menjadi mata uang utama dalam transaksi perdagangan internasional (89 persen).
Vincent berharap adanya tindak lanjut pemerintah terhadap hasil survei tersebut. "Karena pengusaha di Indonesia mempunyai tingkat kepercayaan yang lebih tinggi dari pengusaha yang berada di kawasan Asia terhadap perdagangan internasional," katanya.
Pemerintah diharapkan memfasilitasi pengusaha dengan menyiapkan fasilitas-fasilitas yang memadai bagi kegiatan perdagangan para pengusaha. Misalkan dengan memperbaiki fasilitas perdagangan di pelabuhan Tanjung Priok. Menurut Vincent, hal tersebut sangat fundamental mengingat Tanjung Priok merupakan salah satu pintu ekspor dan impor Indonesia.
Selain pelabuhan, transportasi publik di Indonesia, khususnya Jakarta juga menjadi faktor yang krusial bagi kelancaran arus barang. "Kalau kita bandingkan dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand, transportasi publik di Indonesia sejauh ini masih menjadi hambatan," kata Vincent.
EVANA DEWI