Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan, saat ini Bahana masih memiliki utang kepada pemerintah sebesar Rp 1,2 triliun hasil dari Rekening Dana Investasi dalam rangka stabilisasi pasar modal pada 1997. Utang pokok Bahan sebenarnya hanya Rp 250 miliar. Tapi utang bunga dan dendanya hingga saat ini telah mencapai Rp 950,18 miliar.
“Utang ini sudah lama sekali macet dan tak mampu dibayar Bahana. Rencana restrukturisasi secara teknis sudah dikaji, tapi kami belum membuat keputusan sebelum status divestasi lewat hibah bisa ditetapkan,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja Komisi Keuangan dan Perbankan dengan Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara di Jakarta, Rabu (25/11).
Rabu ini Komisi Keuangan dan Perbankan telah menyetujui pelepasan saham dua anak usaha Bank Indonesia, yakni Bahana dan PT Asuransi Kredit Indonesia, lewat mekanisme hibah kepada pemerintah. Dengan demikian kedua anak usaha Bank Indonesia itu dalam waktu dekat akan menjadi perusahaan pelat merah.
“Jika ada pembahasan-pembahasan lebih lanjut soal permasalahan pada dua perusahaan itu akan dilakukan dalam pendalaman selanjutnya,” kata Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan, Emir Moeis, saat menutup rapat.
PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia didirikan pada 17 April 1973 dengan penyertaan modal negara untuk pengembangan usaha swasta nasional terutama untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Modal disetor perusahaan ini sebesar Rp 22,5 miliar dengan porsi pemerintah 17,8 persen dan Bank Indonesia 82,2 persen.
Saat ini Bahana merupakan induk dari empat perusahaan yang bergerak di investasi pasar modal dan pengembangan UMKM, yakni PT Bahana Artha Ventura, PT Bahana Securities, PT Graha Niaga Tatautama, dan PT Bahana TCW Investment Management yang merupakan perusahaan patungan dengan perusahaan investasi Amerika Serikat, Trust Company of the West.
Pada rapat Komisi sempat mengemuka usulan agar utang bunga dan denda kepada PT BPUI dihapuskan. Anggota Komisi, I Wayan Gunastra, berpendapat pemerintah sebaiknya membebaskan Bahana dari utang sebelum diserahkan pengelolaannya kepada Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara. “Harus clean (bersih) supaya tak membebani," kata politikus Partai Demokrat itu.
Apalagi, utang Bahana itu sebenarnya berasal dari perintah untuk menyelamatkan saham-saham go publik milik pemerintah pada 1997-1998. “Akibatnya perseroan terus merugi karena tak sanggup membayar utang,” ucap Gunastra.
Dari catatan Bank Indonesia, kondisi ekuitas Bahana hingga saat ini memang negatif Rp 245,21 miliar yang disebabkan tunggakan Rekening Dana Investasi dalam rangka stabilisasi pasar modal yang saat ini mencapai Rp 1,2 triliun. Meski demikian, neraca keuangan Bahana dan anak usahanya cukup baik dengan perolehan laba lima tahun terakhir rata-rata Rp 280,32 miliar per tahun dan aset hingga triwulan tiga 2009 sebesar Rp 2,48 triliun.
Namun, Menteri Sri Mulyani menilai usulan itu tak bisa begitu saja dipenuhi Departemen Keuangan. Penghapusan utang harus dilakukan lewat prosedur hukum yang benar. Dia pun mengatakan tak berwenang untuk menghapuskan utang dan denda karena masalah ini terkait erat dengan Undang-Undang Perbendaharaan Negara.
“Nanti saya yang disalahkan lagi,” katanya disambut gelak tawa peserta rapat. Restrukturisasi dinilai sebagai opsi yang terbaik karena utang Bahana tetap akan tercatat dalam pembukuan. “Cuma batas waktunya dipanjangkan,” ujar Sri Mulyani.
Pendapat Sri Mulyani ternyata berbeda dengan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Mustafa Abubakar, yang justru menyambut baik usulan penghapuskan utang Bahana sebesar Rp 951,8 miliar. “Saya dukung penghapusan utang denda dan bunga yang akan dibawa Bahana saat pengalihan saham dan penghibahan kepada pemerintah,” ucapnya.
AGOENG WIJAYA | RIEKA RAHADIANA