TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh serta Serikat Pekerja ihwal uji materiil Undang-undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada Kamis, 31 Oktober 2024. Salah satu permohonan yang dikabulkan berkaitan dengan Tenaga Kerja Asing atau TKA yang dianggap mengganggu ketenagakerjaan Indonesia.
Ketua MK, Suhartoyo, yang membacakan putusan itu mengatakan setiap TKA yang diperkerjakan wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk. "Menteri yang dimaksud adalah menteri di bidang ketenagakerjaan. Ketentuan tersebut kemudian diubah dengan menghilangkan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) dan membebankan kewajiban kepada setiap pemberi kerja untuk memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA)," ucap dia.
Suhartoyo mengatakan, pasal 42 dalam pasal 81 angka 4 UU Nomor 6 tahun 2023 yang menghapus IMTA, dapat menyebabkan hilangnya peran negara melakukan pengawasan terhadap pekerja asing. Dia berujar, regulasi itu juga tidak menjelaskan maksud TKA yang diperkerjakan dengan waktu dan jabatan tertentu, sesuai kompetensi pada jabatan yang didudukinya.
"Telah ditentukan RPTKA yang dibuat pemberi kerja tidak dapat langsung diberlakukan tanpa mendapatkan pengesahan dari pemerintah pusat setelah dilakukan penilaian terhadap kelayakan RPTKA dimaksud," tutur Suhartoyo.
Sementara itu, hakim Mahkamah Konstitusi, Arsul Sani, mengatakan pengesahan RPTKA harus memperhatikan berbagai ketentuan yang berlaku. Seperti, lanjut dia, tenaga kerja asing hanya dapat diperkerjakan untuk jabatan tertentu sesuai dengan kompetensi, dengan membuktikan berupa sertifikat kapabilitas.
Selain itu, Arsul Sani mengatakan pemberi kerja terhadap para pekerja asing juga dilarang memperkerjakan TKA pada jabatan personalia. Termasuk, kata dia, para pemberi kerja perseorangan yang dilarang memperkerjakan tenaga kerja asing. "Para pemberi kerja wajib membayar dana kompensasi terhadap TKA yang diperkerjakannya dan harus menunjuk tenaga kerja warga Indonesia sebagai tenaga pendamping TKA," ucap dia dalam keterangan yang sama.
Dengan demikian, menurut Mahkamah Konstitusi yang diucapkan Arsul Sani, dalam pengesahan RPTKA kepada pemberi kerja dan perpanjangan aturan itu, wajib memenuhi berbagai persyaratan yang berlaku. Dia mengatakan, apabila hal tersebut tidak dipenuhi, maka pemberi kerja TKA diberikan sanksi berupa pencabutan pengesahan atau penolakan perpanjangan RPTKA."Sehingga tanpa ada RPTKA maka pemberi kerja TKA tidak dapat lagi menjalankan kegiatan usahanya," kata Arsul Sani.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan dari Partai Buruh dan Serikat Pekerja tentang uji materiil UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Hal tersebut melalui amar utusan perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo. "Amar putusan, mengadili mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Suhartoyo.
Adapun tujuh isu konstitusionalitas yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dalam UU Nomor 6 tahun 2023, yakni Tenaga Kerja Asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja alih daya atau outsourcing, Cuti para pekerja, pengupahan, ketentuan pesangon, serta Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK.
Pilihan editor: Ekonom Nilai Putusan MK Soal UU Ciptaker Bisa Hidupkan Iklim Investasi Berkelanjutan