TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengkritisi kebijakan pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk menetapkan sanksi bagi para pelaku usaha yang tidak memenuhi sertifikasi halal per 18 Oktober 2024.
“Pemerintah sebaiknya tidak menerapkan sanksi dengan banyaknya permasalahan dalam mendapatkan sertifikasi halal,” tutur Hariyadi kepada Tempo melalui aplikasi perpesanan pada Senin, 29 Oktober 2024. Ia menyatakan industri hotel dan restoran tidak siap dalam menjalankan kewajiban sertifikasi halal pada tanggal 17 Oktober 2024
Menurutnya, pemerintah perlu memperhatikan kemampuan pelaku usaha terkait biaya sertifikasi yang terbilang mahal. “Bagaimanapun sertifikasi berbiaya mahal seharusnya tidak dapat dipaksakan untuk dijalankan oleh dunia usaha mengingat kondisi usaha tidak semua mampu,” tuturnya.
Dilansir dari laman kemenag.go.id, tertulis komponen biaya permohonan sertifikat halal untuk barang dan jasa yang dikategorikan menurut jenis usahanya. Untuk usaha mikro dan kecil harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 300 ribu, sebesar Rp 5 juta untuk usaha jenis usaha menengah, dan Rp12,5 juta untuk usaha besar dan/atau berasal dari luar negeri.
Sedangkan, biaya untuk permohonan perpanjangannya dibedakan. Untuk usaha mikro dan kecil harus mengeluarkan biaya sebesar Rp200 ribu, sebesar Rp2,4 juta untuk usaha jenis usaha menengah, dan Rp 5 juta untuk usaha besar dan/atau berasal dari luar negeri.
Selain itu, kriteria usaha untuk mendapatkan sertifikasi halal, kata dia, juga cukup rumit untuk dipenuhi. “Sehingga harus banyak penyesuaian yang tidak mudah dilakukan,” kata dia.
Ia memberikan contoh penjualan minuman alkohol yang juga masih dilakukan hotel. Selain itu, ada pula restoran yang menggunakan bahan baku dari luar negeri melalui jalur impor.