TEMPO.CO, Jakarta - Juru Bicara Partai Buruh Bidang Ekonomi, Gede Sandra, mengungkapkan salah satu dampak terbesar yang dialami buruh akibat Undang-undang Cipta Kerja adalah menurunnya daya beli. Hal ini terjadi karena UU Cipta Kerja mengembalikan konsep upah minimum menjadi upah murah yang mengancam kesejahteraan buruh.
"Yang paling jadi masalah di kalangan anggota kita, terutama kelas pekerja, adalah menurunnya daya beli mereka," kata Gede saat dihubungi Tempo, Selasa, 20 Agustus 2024.
Gede menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan upah buruh hanya sekitar satu persen per tahun, sementara tingkat inflasi berkisar antara 3 sampai 4 persen. "Artinya, secara riil, pendapatan kelas pekerja, teman-teman buruh ini menurun dari tahun ke tahun."
Penurunan daya beli ini diperparah oleh kondisi kontrak kerja yang semakin tidak menentu. Gede menyebut UU Cipta Kerja memungkinkan sistem kontrak diperpanjang tanpa batas waktu sehingga buruh kehilangan jaminan untuk menjadi pekerja tetap. "Sistem kontrak kerja yang berulang-ulang dan semakin meluasnya praktik outsourcing ini benar-benar menggerus stabilitas kerja buruh," ucapnya.
Selain itu, masalah pesangon yang diatur dalam UU Cipta Kerja juga menjadi salah satu sorotan utama. Menurut Gede, pesangon yang diterima buruh sekarang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan aturan sebelumnya. "Dulu, kita bisa mendapatkan pesangon hingga 12 atau bahkan 16 kali gaji, sekarang paling cuma 3 sampai 6 kali gaji. Ini sangat tidak adil," ujarnya.
Gede mengatakan situasi ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Partai Buruh mendesak pemerintah segera meninjau kembali kebijakan dalam UU Cipta Kerja yang dinilai tidak berpihak pada kesejahteraan buruh.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI dan Partai Buruh sebelumnya menggelar aksi unjuk rasa serempak di seluruh Indonesia pada Selasa, 20 Agustus 2024.
Aksi mereka dilakukan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) dengan titik kumpul di kawasan Patung Kuda, Monas. Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, mengatakan jumlah massa aksi yang hadir mencapai dua ratus orang.
Ada dua isu yang diangkat dalam aksi ini. Pertama, mereka mendesak dicabutnya UU Cipta Kerja. Kedua, mendukung Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan judicial review Partai Buruh perihal batas usia calon kepala daerah yang diatur dalam UU Pilkada.
Said menjelaskan setidaknya ada sembilan alasan buruh mengajukan judicial review UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi:
1. Konsep upah minimum yang kembali pada upah murah: UU Cipta Kerja mengembalikan konsep upah minimum menjadi upah murah, mengancam kesejahteraan buruh dengan kenaikan upah yang kecil dan tidak mencukupi.
2. Outsourcing tanpa batasan jenis pekerjaan: Tidak ada batasan jenis pekerjaan yang boleh di-outsourcing, sehingga menghilangkan kepastian kerja bagi buruh. Ini sama saja menempatkan negara sebagai agen outsourcing.
3. Kontrak yang berulang-ulang: UU Cipta Kerja memungkinkan kontrak kerja berulang-ulang tanpa jaminan menjadi pekerja tetap, hal ini mengancam stabilitas kerja.
4. Pesangon yang murah: Pesangon yang diberikan hanya setengah dari aturan sebelumnya, merugikan buruh yang kehilangan pekerjaan.
5. PHK yang dipermudah: Proses PHK dipermudah, membuat buruh tidak memiliki kepastian kerja dan selalu berada dalam posisi rentan.
6. Pengaturan jam kerja yang fleksibel: Jam kerja yang tidak menentu menyulitkan buruh untuk mengatur waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
7. Pengaturan cuti: Tidak adanya kepastian upah selama cuti, khususnya bagi buruh perempuan, menambah kerentanan dan diskriminasi di tempat kerja.
8. Tenaga kerja asing: Peningkatan jumlah tenaga kerja asing tanpa pengawasan ketat menimbulkan kekhawatiran di kalangan buruh lokal.
9. Hilangnya sanksi pidana: Penghapusan sanksi pidana bagi pelanggaran hak-hak buruh memberikan kelonggaran bagi pengusaha untuk melanggar tanpa konsekuensi hukum berat.
Pilihan Editor: