TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia mengalami deflasi atau penurunan harga barang dan jasa selama tiga bulan beruturut-turut. Sekilas, terdengar menguntungkan bagi konsumen, namun deflasi bisa menjadi indikasi penurunan ekonomi jika terjadi dalam waktu panjang. Salah satu potensi akibatnya adalah dampak spiral, suatu siklus penurunan harga menyebabkan penurunan permintaan hingga daya beli, dan penurunan harga lebih lanjut.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pada Juli 2024, Indonesia mengalami deflasi bulanan sebesar 0,18 persen. Didukung dengan Indeks Harga Konsumen atau IHK sebesar 106,09. Melalui catatan BPS tersebut, Indonesia telah mengalami deflasi ini sebanyak tiga kalinya secara berturut-turut. Bahkan, deflasi pada bulan lalu jauh lebih dalam disbanding deflasi pada bulan Juni.
Ekonom senior Institute for Dvelopment of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini memperingatkan bahwa deflasi menjadi indikator daya beli masyarakat yang melemah. Deflasi ini pada sisi masyarakat membawa keuntungan, sebab harga barang yang jatuh. Namun, di sisi lain tersirat gejala ketidakmampuan konsumen secara luas mengkonsumsi barang dengan wajar atau setidaknya menunda konsumsinya.“Tetapi ini merupakan fenomenda makro ekonomi di mana ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya,” tutur Didik melalui pernyataan resminya Sabtu, 3 Agustus 2024.
Sedangkan di sisi lain, daya beli masyarakat kelas menengah menurun. Chief Economist Mandiri Sekuritas Rangga Cipta menyatakan bahwa Pasca Covis-19, segalanya mulai terbuka, termasuk situasi perekonomian di Tanah Air mulai berjalan normal. Pihak yang mendorong pemulihan kondisi ekonomi adalah kalangan kelas menengah dan atas. Namun, kelas menengah mengalami penurunan daya beli.
“Setelah reopening ini justru kelas menengah itu mulai lambat, ada isu sektor manufaktur yang mulai terdapat pelambatan global,” tutur Rangga Rabu, 7 Agustus 2024.
Rangga menambahkan bahwa perpaduan kondisi tersebut membuat konsumsi kelas menengah melambat dan tidak bergerak daripada kelas bawah yang posisinya tidak bergerak. Sehingga, mendapatkan bantuan sosial pemerintah. Daya beli kelas menengah yang menurun sudah terlihat dari perayaan Idul Adha pada Juni 2024.
Kelas menengah didefinisikan melalui pendekatan yang berbeda. Pendekatan pertama yaitu relatif. Melalui pendekatan relatif, kelas menengah dilihat berdasarkan okupansi, baik dari sisi pendapatan maupun konsumsi. Pendekatan ini mendefinisikan kelas menengah berdasarkan pendapatan antara 75 dan 125 persen dari median pendapatan per kapita masyarakat.
Pendekatan kedua, yaitu absolut. Pendekatan ini mendefinisikan kelas menengah berdasarkan pendapatan atau pengeluaran konsumsi, Menurut ekonom India, Surjit Bhalla, kelas menengah diartikan sebagai pihak dengan pendapatan tahunan lebih dari Rp62 juta dalam ukuran paritas daya beli. Pendekatan ketiga, cangkok atau hybrid. Yaitu membedakan kelas menengah negara berkembang dengan negara maju.
Menurut riset Tempo, pada awal tahun ini menunjukkan bahwa ancaman penurunan daya beli telah terlihat melalui perkembangan inflasi pada 2023. Ketika inflasi inti mengalami penurun. Inflasi inti digunakan untuk mnegukur kenaikan harga barang atau jasa selain harga pangan yang masuk dalam komponen bergejolak (volatile food) dan harga komoditas lain yang masuk dalam komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices), seperti pada harga BBM. Alhasil, komponen tersebut menjadi salah satu indikator yang mencerminkan tren harga barang-barnag sekunder atau tersier.
Selain itu, penurunan daya beli masyarakat Tanah Air pun terlihat pada Lebaran tahun ini. Daya beli yang menurun tersebut, tergambar pada indeks penjualan rill Bank Indonesia pada April 2024 yang mengalami kontraksi secara tahunan sebesar 2,7 persen. Hal tersebut menandakan bahwa konsumsi masyarakat pada Lebaran tahun ini tidak setinggi tahun lalu.
Daya beli masyarakat Indonesia yang menurun ini juga terlihat melalui grafik penjualan kendaraan bermotor. Derektur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda juga menyebut bahwa penurunan daya beli juga telah terlihat sejak awal tahun. Salah satunya melalui indikator penjualan kendaraan bermotor. Berdasarkan dari dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gainkindo), total penjualan kendaraan bermotor dari Januari hingga 2024 mengalami penurunan. Data tersebut dibandingkan dengan periode yang sama pada 2022 dan 2023. Alhasil, penjualan kendaraan bermotor pada semester I tahun ini merupakan yang terendah setelah Pandemi Covid-19.
HAURA HAMIDAH I FAISAL JAVIER I RACHEL FARAHDIBA REGAR
Pilihan Editor: Alarm Melemahnya Daya Beli Masyarakat