TEMPO.CO, Jakarta - Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengajukan uji materiil UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera terhadap UUD 1945 ke MK. Pengajuan gugatan tersebut diwakilkan oleh Presiden Dewan Eksekutif Nasional KSBSI, Elly Rosita dan Sekretaris Jenderal Dewan Eksekutif Nasional KSBSI, Dedi Hardianto.
Berdasarkan mkri.id, Haris Manalu sebagai kuasa hukum Pemohon menyebutkan, upah pekerja atau buruh mandiri masih kecil dan tidak mencukupi kebutuhan hidup layak. Namun, pekerja diharuskan membayar iuran jaminan sosial, termasuk Tapera.
“Bahwa UU Tapera ini melanggar hak Pemohon karena mewajibkan beban biaya bagi warga negara fakir miskin dari yang seharusnya menjadi beban negara/pemerintah sebagaimana termuat dalam Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,” jelas Haris, pada 6 Agustus 2024.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan UU Tapera Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan 72 ayat (1) UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945.
Tak hanya KSBSI, terdapat pihak lain yang juga keberatan dengan Tapera, yaitu:
Asosiasi Pengusaha Apindo (Apindo)
Ketua Umum Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Apindo DKI Jakarta, Solihin mengaku telah mengajukan keberatan Tapera sejak 2016.
“Selama sosialisasi program Tapera sejak 2016, DPP Apindo DKI Jakarta sudah menyatakan keberatan,” kata ujar Solihin, pada Senin, 10 Juni 2024.
Saat itu, Solihin berpendapat, fasilitas pembangunan rumah Tapera telah disediakan BPJS Ketenagakerjaan yang memiliki fasilitas serupa melalui Manfaat Layanan Tambahan (MLT) dalam program Jaminan Hari Tua (JHT).
“Program Tapera ini tumpang-tindih dengan program yang sudah ada,” lanjutnya.
Anggota DPR
Anggota Komisi Keuangan DPR dari Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno mengklaim sebagian fraksi setuju, jika Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera ditunda.
“Sebagian besar fraksi nampaknya setuju jika program tersebut ditunda dan dikaji kembali kelayakannya,” ucap Hendrawan, pada Jumat, 7 Juni 2024.
Menurut Hendrawan, jika program Tapera berbentuk tabungan, maka sebaiknya iuran bersifat opsional. Artinya, masyarakat tidak wajib membayar iuran atau dipotong gajinya sebesar 3 persen untuk Tapera. Pekerja dapat menilai sendiri manfaat dari program tersebut dan mau berpartisipasi secara sukarela.
Selain Hendrawan, Ketua Komisi Infrastruktur DPR, Lasarus juga menyampaikan, perlu agenda rapat khusus membahas Tapera.
“Supaya nanti tuntas. Kami banyak mendapatkan pertanyaan, makanya saya minta pemerintah tunda dulu. Nanti kami undang wirausaha, perwakilan buruh, baru pihak Tapera,” ujarnya.
Pengamat Properti AS Property Advisory
Pengamat properti AS Property Advisory, Anton Sitorus mengungkapkan, pemerintah perlu mengkaji lebih dalam wacana potong upah pekerja swasta untuk Tapera. Ia mengatakan, urusan perumahan bukan perkara sederhana sehingga butuh perhitungan matang. Pemerintah harus memastikan iuran yang dikumpulkan pekerja melalui Tapera benar-benar dimanfaatkan untuk membeli hunian.
“Ini tabungan yang 'dipaksakan' untuk rumah. Dengan uang segitu, apa nanti dapat rumah? Masyarakat butuh kepastian. Jangan sampai hal-hal seperti in (Tapera)i tujuannya cuma buat pengumpulan dana masyarakat,” kata Anton, pada Selasa, 28 Mei 2024.
RACHEL FARAHDIBA R | HAN REVANDA PUTRA | YONATHAN LAWRENS | BAGUS PRIBADI | RIRI RAHAYU
Pilihan Editor: Sama-sama Dikritisi Publik, Usai Tapera Terbitlah Asuransi Kendaraan bermotor TPL