TEMPO.CO, Jakarta - Starlink, teknologi internet satelit, milik Elon Musk ini sempat membuat kekhawatiran dari industri seluler Indonesia mengenai potensinya yang dapat memberikan layanan langsung ke handset atau telepon pelanggan seluler.
Menanggapi hal tersebut, dikutip dari Antaranews, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ismail menyebutkan bahwa Starlink tidak dapat memberikan layanan "Direct to Cell" di Indonesia.
Baca juga:
Lebih lanjut, ia juga membahas soal perbedaan pengenaan Biaya Hak Penggunaan (BHP) untuk layanan internet berbasis satelit yakni Starlink dengan BHP untuk para penyelenggara telekomunikasi seluler.
Menurutnya, Starlink kategorinya berbeda karena BHP yang dikenakan harus memenuhi Izin Stasiun Radio (ISR) untuk layanan satelit. "PP No. 43 Tahun 2023 tersebut ditetapkan setelah melalui serangkaian konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan dan tahapan harmonisasi dengan sejumlah kementerian terkait lainnya,” kata Ismail di Jakarta, Ahad, 23 Juni 2024.
Penghitungan BHP Starlink tentunya berbeda dengan BHP Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) yang dikenakan kepada penyelenggara telekomunikasi seluler. Ismail memastikan bahwa Starlink membayar BHP ISR sesuai dengan kewajibannya dan tidak mendapatkan perlakuan khusus.
"Besaran BHP ISR yang dikenakan kepada Starlink yang benar adalah sekitar Rp23 Miliar per tahun,” kata Ismail.
Lebih lanjut ia pun menambahkan peran Direktorat Jenderal (Ditjen) SDPPI dalam melaksanakan pengenaan BHP ISR untuk setiap pelaku industri mengikuti sesuai dengan aturan yang ada.
"Peran dari Kementerian Kominfo adalah menghitung dan menetapkan besaran BHP ISR untuk penyelenggara satelit dengan berdasarkan pada formula dan indeks yang telah ditetapkan dalam regulasi, baik PP No. 43 Tahun 2023 maupun aturan pelaksanaannya, untuk kemudian ditagihkan kewajiban BHP tersebut kepada penyelenggara satelit bersangkutan,” katanya.
Profil Starlink
Starlink berakar dari keinginan untuk memberikan konektivitas internet yang andal di seluruh dunia, terutama di daerah terpencil dan pedesaan.
Dikutip dari CNet, proyek ini dimulai pada 2015 oleh SpaceX dengan tujuan awal mengumpulkan data tentang teknologi internet satelit. Namun, visi ini segera berkembang menjadi proyek ambisius untuk membangun jaringan satelit ribuan unit yang membentang di lapisan rendah orbit bumi.
Prototipe satelit Starlink diluncurkan ke orbit pada 2018. Jaringan ini terdiri dari ribuan satelit kecil yang beroperasi di orbit rendah, sebuah pendekatan yang berbeda dari teknologi satelit konvensional yang beroperasi di orbit geostasioner. Hingga saat ini jumlah total satelit yang diluncurkan menjadi sekitar 4.600.
Dengan mengoperasikan satelit di orbit lebih rendah, Starlink mampu mengurangi latency (waktu tanggap) dan meningkatkan kecepatan internet secara signifikan.
Menurut situs pelacakan kecepatan internet Ookla, yang menganalisis kinerja internet satelit selama kuartal pertama tahun 2023, Starlink menawarkan kecepatan unduh rata-rata hampir 67 Mbps di Amerika Serikat.
Jumlah tersebut turun secara signifikan dibandingkan akhir tahun 2021, ketika Starlink memiliki kecepatan unduh rata-rata lebih dari 100 Mbps. Teknologi canggih ini menggabungkan penggunaan satelit yang dapat bergerak secara otonom dan stasiun darat yang terhubung dengan pengguna akhir. Pengguna akan menggunakan terminal khusus untuk menghubungkan ke jaringan satelit ini.
MICHELLE GABRIELA | KAKAK INDRA PURNAMA | DEWI RINA CAHYANI
Pilihan Editor: Ada Perbedaan Pemberlakuan Antara Biaya Hak Penggunaan Starlink dan BHP Seluler