TEMPO.CO, Semarang - Para petani anggota Organisasi Tani Jawa Tengah atau Ortaja mengungkapkan ada lima konflik agraria yang hingga kini belum tuntas menyikapi Reforma Agraria Summit yang digelar Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada Jumat, 14 Juni 2024. Ratusan petani terus berjuang mempertahankan tanahnya yang dikuasai korporasi.
Pertama, konflik agraria antara petani Desa Pundenrejo Kabupaten Pati dengan PT Laju Perdana Indah. Pabrik gula tersebut menguasai lahan garapan 143 kaum tani di Pundenrejo seluas 7,3 hectare. Kemudian, petani di Simbangdesa Kabupaten Batang menghadapi PT Ambarawa Maju yang merampas lahan garapan 50 petani seluas 5 hektare.
Petani di Karangsari Kabupaten Pati melawan Mafia Tanah. Selanjutnya, petani di Karangrayung Kabupaten Grobogan dengan Perhutani. "Kondisi ini membuat para petani justru menjadi buruh perkebunan Perhutani di atas tanah garapannya, petani diwajibkan untuk memberi hasil panennya kepada Perhutani," ujar perwakilan Ortaja, Joko.
Terakhir, petani di tepi Danau Rawa Pening Kabupaten Semarang yang tengah was-was karena tanah mereka tiba-tiba dipatok oleh Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana Bersama Tentara Nasional Indonesia. Tanah warga berstatus hak milik di 14 desa yang berupa lahan pertanian dan tempat tinggal kini telah dipatok.
Menurut mereka, klaim pemerintah tentang reforma agraria berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan. Program-program pemerintah juga kerap menyebabkan terjadinya perampasan tanah milik warga.
Para petani menuntut, dilibatkan langsung dalam program reforma agraria. "Mengembalikan tanah-tanah rakyat yang dirampas oleh korporasi sesegera mungkin," ujar dia. "Hentikan perampasan lahan dengan dalih apapun, termasuk Proyek Strategis Nasional."
Pilihan Editor: FNKSDA Minta Nahdliyin Tidak Ikut PBNU Terima Izin Tambang