Bansos berlebihan jelang Pemilu
Turunnya persentase kemiskinan ekstrem yang tipis pada 2022 ke 2023, dikatakan Yusuf, merupakan peningkatan kinerja dan seiring dengan target nol persen. Namun, menurut dia, hasil tersebut adalah prestasi semu. Pasalnya, lebih banyak fokus pada gelontoran bansos, bukan memperbaiki aspek fundamental dalam kondisi sosial-ekonomi masyarakat miskin.
Ketika masyarakat miskin ekstrem mendapatkan bansos bertubi-tubi, kata Yusuf, pengeluaran mereka tentu akan meningkat. Dengan demikian, mereka tidak terkategori lagi sebagai miskin ekstrem.
"Namun hampir dapat dipastikan bahwa posisi masyarakat yang lepas dari kemiskinan ekstrem dari bansos tersebut adalah rentan. Ketika bansos berkurang atau bahkan terhenti, mereka dengan cepat akan kembali jatuh dalam kemiskinan ekstrem," tuturnya.
Ia berpendapat, selayaknya fokus penanggulangan kemiskinan adalah pemberdayaan ekonomi rakyat dan membuka lapangan kerja yang berkualitas secara luas. Bukan justru memperluas cakupan dan meningkatkan gelontoran bansos.
"Fokus yang berlebihan kepada bansos telah menghilangkan esensi penguatan kapasitas dan sumber penghidupan masyarakat miskin, dan juga sarat dengan motif elektoral Pemilu 2024."
Tak hanya itu, penanganan kemiskinan ekstrem mestinya fokus pada pemenuhan hak-hak dasar warga negara. Terutama hak atas tanah dan hak atas pekerjaan yang layak, pengaman sosial yang efektif, pembangunan infrastruktur yang pro terhadap rakyat, serta pembangunan pertanian dan pedesaan yang inklusif.
"Itu semua membutuhkan dukungan kualitas institusi di semua lini dan waktu yang tidak pendek. Penanggulangan kemiskinan secara instan melalui giliran bansos adalah topeng palsu untuk menutupi kepentingan pragmatis elektoral jangka pendek penguasa, berkedok upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin," ujar Yusuf.
Pilihan Editor: Hilirisasi Nikel Terus Diperdebatkan, JATAM: Hanya untuk Raup Keuntungan di Pemilu 2024