"Inilah yang merupakan kelompok miskin yang sesungguhnya. Menjadi tidak relevan bagi pemerintah terus berkeras mengejar target kemiskinan ekstrem 0 persen pada 2024."
Menurut dia, realitas yang jadi fokus seharusnya adalah bagaimana melindungi 35 sampai 40 persen penduduk miskin di lapis terbawah tersebut. Meskipun menggunakan standar ukuran yang terlalu rendah, kata Yusuf, dia sejak awal meyakini target nol persen kemiskinan ekstrem pada 2024 tidak akan mudah diraih.
Masyarakat miskin ekstrem
Yusuf menjelaskan bahwa secara umum, penduduk miskin ekstrem memiliki beban ketergantungan yang tinggi dengan jumlah anggota keluarga tidak produktif yang besar. Bila dilihat secara geografis, sebagian besar penduduk miskin ekstrem tinggal di daerah pedesaan dengan keterbatasan akses kebutuhan seperti listrik, peralatan memasak dan air bersih. Ditambah lagi dengan ketiadaan keahlian dan modal, umumnya kepala keluarga miskin ekstrem berusaha sendiri atau berusaha dengan dibantu anggota keluarga.
Kemudian, bila ditinjau dari segi pendidikan, umumnya penduduk miskin ekstrem berpendidikan rendah. Kebanyakan bekerja di sektor primer, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan penggalian. Di samping itu, mereka tidak memiliki akses terhadap sumber pendanaan usaha formal yang murah dan fleksibel.
Oleh sebab itu, menurut Yusuf, ada banyak syarat dan waktu yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem. Dukungan anggaran saja tidaklah cukup. "Ketersediaan anggaran semata tidak lantas menjamin penanggulangan kemiskinan akan berjalan cepat. Kualitas institusi dan kualitas pembuatan kebijakan akan lebih menentukan efektivitas penanggulangan kemiskinan."
Selanjutnya: Bansos berlebihan jelang Pemilu....