TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menyebut, pemerintah mesti serius jika ingin mengejar target nol persen kemiskinan ekstrem pada 2024. Kinerja penanggulangan kemiskinan harus dipertimbangkan dengan serius.
Menurut dia, seharusnya Indonesia tidak lagi menggunakan ukuran US$ 1,90 PPP (Purchasing Power Parity), melainkan ukuran US$ 3,20 PPP.
"Dengan perubahan ukuran kemiskinan US$ 3,20 PPP, selain lebih relevan untuk Indonesia yang bersiap naik kelas menjadi upper middle income countries, juga akan memberi implikasi penting untuk formulasi strategi pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif," ujar Yusuf kepada Tempo pada Ahad, 28 Januari 2024.
Kendati demikian, menurut dia, penggunaan ukuran US$ 3,20 PPP juga tidak mudah secara politik. Pasalnya, menyebabkan jumlah penduduk miskin akan bertambah signifikan. Ia menyatakan bahwa secara politik, hal ini jelas tidak menguntungkan bagi penguasa, terlebih pada masa tahun politik 2024 ini. Per Desember 2023, angka kemiskinan ekstrem tercatat 1,12 persen.
"Meski pemerintah secara resmi mengumumkan angka kemiskinan nasional di kisaran 9,5 persen dan bersikeras mengejar target kemiskinan ekstrem 0 persen pada 2024, namun pada praktik lapangan penanggulangan kemiskinan, pemerintah menggunakan angka kemiskinan yang berbeda," tutur Yusuf.
Ia menegaskan, kemiskinan riil yang dihadapi Tanah Air saat ini tercermin pada jumlah penerima bantuan sosial (bansos). Angkanya mencapai sekitar 35 sampai 40 persen keluarga terbawah atau sekitar 95 sampai 115 juta jiwa.
Selanjutnya: "Inilah yang merupakan kelompok miskin yang sesungguhnya...."