TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia mengandalkan perdagangan karbon untuk mencapai target pengurangan gas rumah kaca (GRK) sesuai dengan Enhanced-Nationally Determined Contribution (E-NDC) tahun 2030. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan bahwa pemerintah telah menetapkan target pengurangan GRK sebesar 31,89 persen secara mandiri dan 43,20 persen dengan dukungan negara lain, salah satunya dengan menerapkan perdagangan karbon.
"Mekanisme carbon pricing sudah ada. Dasarnya adalah Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi GRK Dalam Pembangunan Nasional," kata Arifin dalam keterangan resmi Kementerian ESDM pada Selasa, 16 Januari 2024.
Menurut Arifin, mekanisme perdagangan karbon melibatkan konsep perdagangan emisi dan offset emisi. Dalam off set emisi, unit usaha atau kegiatan dapat mengurangi emisi di satu tempat untuk mengkompensasi emisi berlebih yang mereka hasilkan di tempat lain. Meski pajak karbon--yang bersifat wajib--belum dimulai, Arifin menyatakan bahwa pemerintah telah menyiapkan mekanisme terkait carbon off set (penyeimbangan jejak karbon).
Kementerian ESDM, kata Arifin, telah meluncurkan perdagangan karbon di subsektor pembangkit listrik pada 22 Februari 2023. Sebanyak 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan total kapasitas 33,5 GW turut serta dalam perdagangan karbon pada fase pertama 2023.
Namun demikian, baru dua proyek yang telah terdaftar dalam bursa karbon dan punya pembeli karbon. Mereka adalah Lahendong Geothermal Project Unit 5 dan 6 di Sulawesi Utara milik PT Pertamina Geothermal Energy dengan volume emisi yang dijual sebesar 1,74 juta ton CO2, serta PLTGU Blok 3 PJB Muara Karang dengan volume 900 ribu ton CO2 Emission. Bursa karbon tersebut telah diperkenalkan pada 26 September 2023.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan hingga 29 Desember 2023 telah ada 46 pengguna jasa di bursa karbon yang mendapatkan izin. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, mengatakan jumlah tersebut merupakan total pengguna jasa sejak bursa karbon pertama diluncurkan pada 26 September 2023. Total transasksi perdagangan karbonnya mencapia Rp 30,91 miliar dengan volume sebesar 494.254 tCO2e (setara ton CO2 ekuvalen). Inarno mengatakan untuk 2024 ini, pengembangan bursa karbon masih berpotensi terus bertumbuh dengan baik.
Adinda Jasmine Prasetyo
Pilihan Editor: Perpres Carbon Capture Terbit Februari, Negara Lain Bisa Simpan Karbon di Indonesia