"Kami kan beli dari agen karena kami terikat dengan agen dan mitranya agen. Kami belinya sistem beli putus, satu hari sebelum harus bayar dulu, baru besoknya dikirim. Sebetulnya kan selesai. Tapi kami diberikan beban, wajib membuat laporan, pembeli harus pakai KTP," tuturnya.
Heru mengungkapkan pada praktiknya, pelaporan melalui aplikasi itu tidak semudah yang dibayangkan, terutama bagi pemilik pangkalan atau keluarganya yang sudah berumur dan tidak terbiasa dengan aplikasi atau gadget.
"Ya kalau punya HP, punya pun mungkin hanya satu. Kalau nggak punya kan harus beli dulu. Itu modal juga, belum pulsanya, harus keluar biaya lagi. Untuk pelaporan penjualan pun harus setiap hari. Praktiknya tidak semudah dicatat terus dimasukkan, padahal laporan harus dalam hari itu juga. Misal belum sempat langsung melaporkan ya tertunda besoknya baru bisa, akhirnya banyak terjadi pelaporan yang nggak faktual," ucap dia.
Permasalahan lain berkaitan dengan pembatasan pembelian jumlah gas LPG 3 kg untuk konsumen rumah tangga yang diperuntukkan hanya warga miskin atau UMKM. Pada kenyataannya, ia mengungkapkan, warga yang tidak tergolong warga miskin juga bisa membeli.
"Persyaratan harus pakai KTP, kalau rumah tangga kan (kuota beli) satu (tabung gas LPG 3 kg) kalau UMKM bisa dua. Dalam kategori dalam satu bulan cuma 10. Ini tidak masuk logika, khususnya UMKM. UMKM sehari kadang nggak cukup dua, bisa 4-5 (tabung). Hal-hal yang semacam itu bikin ribet," ungkapnya.
Apalagi, menurut Heru, pemahaman satu KTP bisa beli satu tabung LPG untuk rumah tangga di satu pangkalan tidak dipahami sepenuhnya.
"Faktanya pembeli bisa membeli satu di pangkalan sini dan satu di pangkalan yang lain. Itu kan akan menambah masalah baru," katanya.
Selanjutnya: Oleh karena itu, Heru pun mengajukan usulan agar program....