TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menanggapi soal posisi utang pemerintah yang mencapai Rp 7.950,52 triliun per Oktober 2023.
Bhima menuturkan, banyak studi mengatakan korelasi negatif antara semakin banyak utang dengan pertumbuhan ekonomi. Jadi, kata Bhima, utang itu bagi pemerintah tidak selalu sebagai leverage atau pinjaman modal.
"Tapi sebagai burden atau beban bagi pertumbuhan ekonomi, karena utang tadi mengambil uang dari masyarakat atau meng-cancel out investasi yang harusnya masuk ke sektor riil tapi masuk ke SBN (surat berharga negara)," kata Bhima saat ditemui Tempo di Jakarta pada Rabu, 29 Desember 2023.
Dia menjelaskan, ini karena SBN dinilai memiliki risiko yang rendah tapi memberikan yield atau imbal hasil yang menarik. Bahkan, imbal hasil SBN Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.
"Nah kalau terus dilanjutkan, uang buat sektor riil tersedot ke pemerintah atau bahasa kerennya crowding out effect, maka ini akan bisa menjadi fenomena debt overhang atau overhang utang," papar Bhima.
Jadi, menurut dia, utang pemerintah pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Hal ini menjadi salah satu penyebab mengapa utang meningkat tapi pertumbuhan stagnan di 5 persen.
Sebagai informasi, dikutip dari buku APBN Kita Edisi November 2023, posisi utang per Oktober sebesar Rp 7.950 triliun ini setara dengan 37,95 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Meskipun begitu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat rasio utang menurun dibandingkan akhir 2022 yang sebesar 39,70 persen dari PDB.
"(Utang pemerintah) masih di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara," tulis Kemenkeu, dikutip dari buku APBN Kita Edisi November 2023.
Sementara itu, komposisi utang pemerintah tersebut didominasi oleh utang domestik sebesar 71,78 persen. Berdasarkan instrumen, komposisi utang mayoritas berupa penerbitan SBN yang mencapai 88,86 persen atau Rp 7.048,90 triliun.
Secara rinci, utang dalam bentuk SBN di domestik atau denominasi rupiah adalah Rp 5.677,55 triliun. Sedangkan dalam bentuk denominasi valuta asing sebesar Rp 1.371,35 triliun.
"Kepemilikan investor individu di SBN domestik terus meningkat mulai 2019 yang hanya mencapai 2,95 persen menjadi 7,46 persen pada periode ini," tulis Kemenkeu.
Sedangkan perbankan menjadi pemilik SBN domestik terbesar, yaitu mencapai 29,18 persen per akhir Oktober 2023. Ini kemudian diikuti oleh perusahaan asuransi dan dana pensiun yang memegang SBN sekitar 18,49 persen.
Selain itu, Bank Indonesia juga memegang SBN sebesar 17,20 persen untuk instrumen pengelolaan moneter. Sedangkan investor asing memiliki SBN domestik sekitar 14,65 persen, termasuk kepemilikan oleh pemerintah dan bank sentral asing. Sementara itu, sisa kepemilikan SBN dipegang oleh institusi domestik lainnya.
Selain berupa penerbitan SBN, utang pemerintah juga didapatkan dari pinjaman sebesar Rp 901,62 triliun. Rinciannya berasal dari dalam negeri sebesar Rp 29,52 triliun dan dari luar negeri sebesar Rp 872,09.
Pilihan Editor: Pemerintah Tak Kunjung Bayar Utang Rafaksi Minyak Goreng Rp 344 Miliar, Ombudsman Surati Airlangga Hartarto