TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyoroti bantuan sosial beras yang diberikan pemerintah sebagai upaya menekan kenaikan beras.
"Sekarang beras murah 10 kilogram untuk rakyat. Rakyat lagi-lagi dibikin seperti pengemis, akibat korporasi yang menahan beras," kata Said dalam Konferensi Pers Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia (SPI) tentang Hari Tani Nasional ke-63.
Said menilai pembagian beras murah hanya memposisikan masyarakat seperti pengemis. Padahal, masyarakat seharusnya berdaulat atas hasil bumi, termasuk beras.
Said juga beranggapan upaya operasi pasar dengan memberikan beras murah kepada masyarakat akan menjadi sia-sia. Ia mengatakan bahwa semestinya pemerintah melakukan pengecekan terhadap korporasi besar bersamaan dengan bantuan beras itu.
"Selain melakukan operasi pasar beras murah sepuluh kilogram, secara bersamaan periksa Wilmar, Sinar Mas, dan Indofood. Apakah stok mereka lebih besar dari Bulog. Kalau stok korporasi swasta jauh lebih besar, operasi pasar percuma," tegas Said.
Pemeriksaan terhadap stok beras yang dimiliki korporasi swasta sangat penting dilakukan. Menurutnya, jika stok beras korporasi swasta lebih banyak, maka harga beras akan ditentukan oleh swasta.
Di sisi lain, Said juga menilai operasi pasar yang dilakukan hanya menghabiskan stok beras di Bulog. Ketika stok beras Bulog habis, maka swasta akan memainkan harga dan pemerintah akan berupaya impor.
"Akhirnya stok bulog berkurang, kan operasi pasar itu yang dipakai stoknya Bulog, karena ga dilepas stok swasta ini. Maka apa yang terjadi? Lagi-lagi impor," kata dia.
Impor beras akan merugikan petani. Ia menjelaskan partai buruh mencurigai impor beras yang dilakukan di tahun politik hanya akan menguntungkan partai politik tertentu.
"Setiap impor yang terjadi pasti ada komisi. Meskipun itu tidak akan diakui. Tapi kita bisa mencium aromanya berpuluh-puluh tahun. Menteri-menteri banyak yang berasal dari partai politik, tanpa bermaksud menjustifikasi, tapi perlu diwaspadai," terang Said.