TEMPO.CO, Jakarta - Situasi mencekam tengah menyelimuti Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau atau Kepri pada Kamis, 7 September 2023. Bentrokan terjadi antara masyarakat adat dengan aparat gabungan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), serta BP Batam yang memasuki paksa kawasan untuk memasang patok tata batas lahan Rempang Eco-City.
Sebelum peristiwa bentrok berlangsung, masyarakat adat sudah berkumpul di titik masuk Pulau Rempang, tepatnya di Jembatan 4 Barelang untuk mencegah aparat masuk. Akan tetapi, para aparat justru menangkap warga yang mencoba menghalangi. Dari bentrokan tersebut, sekitar 6 orang ditangkap, puluhan orang luka-luka, sejumlah anak mengalami trauma, dan satu anak menderita luka akibat gas air mata yang ditembakkan aparat.
Seperti diketahui, Rempang Eco-City merupakan bagian program pengembangan kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang termasuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator (Permenko) Bidang Perekonomian No. 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Permenko Bidang Perekonomian No. 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar PSN.
Lantas, mengapa masyarakat Pulau Rempang menolak Rempang Eco-City?
1. Masyarakat adat tak dilibatkan
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Zenzi Suhadi, mengatakan bahwa pembangunan Kawasan Rempang Eco-City tidak melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Pemerintah dinilai abai terhadap suara warga adat 16 Kampung Melayu Tua.
Hal itu, menurut dia, membuat masyarakat menolak tegas agenda PSN. Dia pun menuding BP Batam, Kemenko Bidang Perekonomian, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyusun strategi program tanpa persetujuan warga setempat.
“Atas dasar itu, kami Masyarakat Sipil di Riau, Masyarakat Sipil Nasional, dan 28 Kantor Eksekutif Daerah Walhi meminta presiden bersikap tegas untuk membatalkan program ini. Program yang mengakibatkan bentrokan dan berpotensi menghilangkan hak atas tanah dan identitas masyarakat di 16 Kampung Melayu Tua di Rempang,” kata Zenzi.