Negara-negara berkembang hanya memiliki sedikit perlindungan untuk proses peminjaman dengan Cina ketika memiliki permasalahan. Konsekuensinya, dia berujar, negara yang terjebak dan memiliki sedikit pilihan mencari bantuan terkait utang tersebut dan menempatkan negara tersebut di titik terlemah.
“Cina mendapatkan keuntungan yang lebih dari posisi tersebut. Mendapatkan keuntungan ekonominya tentu saja dan juga memperkuat posisinya melalui diplomasi belt and road initiative,” tutur Yeta.
Yeta juga membeberkan data yang didapatkannya pada 2021. Di dalam data tersebut ada negara penerima proyek infrastruktur belt and road initiative Cina yang mengalami indikasi skandal dan kontroversi.
“Kalau dilihat, ini Indonesia berada di posisi kedua dengan jumlah 9 proyek dan nilai US$ 5.224 juta pada 2017,” ucap dia.
Di posisi pertama ada Pakistan dengan 10 proyek senilai US$ 5.675 juta, ketiga Malaysia dengan 5 proyek senilai US$ 18.863 juta. Selanjutnya secara berurutan ada Vietnam (5 proyek nilai US$ 2.747 juta); Kenya (4 proyek nilai US$ 5.047 juta); Kirgistan (4 proyek nilai US$ 1.055 juta); Papua Nugini (4 proyek nilai US$ 436 juta); Kamboja (2 proyek nilai US$ 860 juta); Mozambik (2 proyek nilai US$ 768 juta); dan Belarus (2 proyek nilai US$ 727 juta).
Pilihan Editor: Daftar Lowongan Kerja dengan Tenggat Hingga 30 Juni 2023