“Penikmat produk nikel setelah penambahan nilai adalah perusahaan Cina. Yang bermitra dengan elit-elit ekonomi politik nasional atau bahkan oligarki nasional,” ucap dia.
Catatan kedua Ronny adalah skema pembiayaan berbasis utang dari Cina yang angkanya tidak pernah stabil. Dalam perjalanan waktu, di satu sisi angkanya cenderung berkembang terus, tapi bunganya kurang bisa dinegosiasikan. “Ini yang sering kita sebut dengan dept trap (jebakatan utang).”
Menurut Ronny, dalam kasus dept trap, utang dihitung sebagai utang korporasi, tapi sering kali meminta jaminan anggaran negara. Untuk memastikan bahwa risiko ditanggung negara. Artinya, sebagai investor, Cina tidak bersedia menanggung rugi jika terjadi apa-apa.
“Padahal investasi tak sama dengan utang. Investor harus ikut menanggung rugi. Berbeda dengan utang pada umumnya,” tutur Ronny.
Ketiga, investasi Cina, di mana pun, rata-rata bertujuan untuk menyerap kelebihan produksi barang modal di dalam negerinya, seperti besi, baja, semen, dan lainnya. Karena sejak krisis 2008 lalu, Cina tetap menyuntikan dana ke badan usaha milik negara penghasil barang modal, agar tidak collapse dan agar tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Walhasil, mereka mengalami over production. Karena itu, belt and road initiative (jalur sutra Cina) diluncurkan untuk menampung itu,” ucap dia.
Selanjutnya: Adapun risikonya bagi Indonesia, menurut Ronny....