Menurut Prastowo, petugas pajak bahkan melibatkan penilai profesional agar tak semena-mena. Sehingga kerjanya detail dan lama, tak asal-asalan.
"Hasilnya, nilai bangunan ditaksir Rp 4,7 M, bukan Rp 50 M seperti diklaim Soimah. Dalam laporannya sendiri Soimah menyatakan pendopo itu nilainya Rp 5 M," tutur Prastowo.
Penting dicatat, kata dia, kesimpulan dan rekomendasi petugas pajak tersebut bahkan belum dilakukan tindak lanjut. Artinya, PPN terutang 2 persen dari Rp 4,7 miliar sama sekali belum ditagihkan.
"Kenapa membawa 'debt collector'? Bagian ini saya belum paham betul, berusaha mengunyah," ujar Prastowo.
Menurut Undang-Undang, kantor pajak sudah punya debt collector yaitu Juru Sita Pajak Negara (JSPN). Mereka bekerja dibekali surat tugas dan menjalankan perintah jelas ketika ada utang pajak yang tertunggak.
"Soimah sendiri tidak pernah diperiksa kantor pajak dan tercatat tak ada utang pajak, lalu buat apa didatangi sambil membawa debt collector? Bagi JSPN, tak sulit menagih tunggakan pajak tanpa harus marah-marah," ungkap Stafsus Sri Mulyani ini.
Sebab, JSPN bisa menerbitkan Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan, memblokir rekening, lalu melelang aset atau memindahkan saldo rekening ke kas negara.
"Kesaksian semua petugas pajak yang berinteraksi, mereka tak pernah bertemu Soimah, hanya keluarga atau penjaga rumah. Terakhir dengan konsultan pajak," bebernya.
Ketiga, kata Prastowo, curhatan Soimah ketika dihubungi petugas pajak yang seolah dengan cara tidak manusiawi untuk segera melaporkan SPT di akhir Maret 2023 ini.
"Saya pun sudah mendengarkan rekaman percakapan Soimah dan juga chat WA dengan petugas pajak. Duh…saya malah kagum dengan kesabaran dan kesantunan pegawai KPP Bantul ini," ujar Prastowo.
Selanjutnya: Petugas pajak menawarkan bantuan jika Soimah kesulitan