“Makanya waktu itu di dalam aransemen policy 2020 kita tahu defisit kita akan menembus di atas 3 persen untuk itu dikeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Kita dibolehkan untuk lewat dari 3 persen dari GDP untuk defisit karena sudah pasti penerimaan turun,” ucap Sri Mulyani.
Dia mengatakan defisit pada 2020 tembus di atas 6 persen, lalu mulai pulih kembali pada tahun 2021. Sementara tahun 2022 yang baru saja ditutup, defisitnya di angka 2,36 persen jauh lebih kecil. Bankir, Sri Mulyani berujar, sama seperti dirinya yang sering ditanya rating agency soal defisit tersebit.
“Sri Mulyani yakin enggak kamu 3 tahun bisa turun di bawah 3 persen. Apakah ini akan menjadi era seperti Amerika Latin, once you feel, enak ya di atas 3 persen itu ternyata, so you feel addictive to that defisit,” tutur dia.
Menurut dia, mengembalikan angka defisit sesuai undang-undang cukup menantang dan memerlukan momentum yang pas. “Jadi, that are so many real question dan kita bisa tutup bahkan tidak di sekitar 3 jauh dibawah 3 persen dan tahun ini pun kita juga mendesain di 2,87 persen.”
Sri Mulyani menuturkan, hal tersebut merupakan sebuah epiode sejarah yang memberikan banyak pembelajaran dalam membaca situasi. Dia pun mengutip nasihat pujangga Jawa Ronggo Warsito yaitu ojo kagetan, ojo gumunan. Yang artinya menurut Sri Mulyani, orang tidak akan kaget dan tidak terkagum-kagum atau mudah terintimidasi jika memiliki pengalaman.
Filosofi itu, Sri Mulyani berujar, menggambarkan bahwa jika terus belajar, melihat fenomena, membaca data dan memahami konteks, semuanya akan mempersiapkannya lebih baik. “Anda akan jauh lebih baik di dalam menyiapkan situasi yang kadang-kadang tidak biasa dan saya berharap tahun 2023 ini seluruh bankir mempersiapkan dirinya meskipun 2023 dalam situasi yang tidak biasa,” kata Sri Mulyani.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini