TEMPO.CO, Jakarta -Ombudsman menemukan dugaan maladministrasi dalam proses pembentukan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Lembaga tersebut mendapatkan informasi bahwa pembentukan aturan tersebut tidak ada partisipasi bermakna.
“Dalam konteks kebijakan penetapan upah minimum ini kami mendapatkan informasi bahwa partisipasi itu tidak belangsung intensi, tidak bermakna,” ujar Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng dalam konferensi pers virtual pada Kamis, 1 Desember 2022.
Baca Juga:
Dia meminta agar pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, untuk mencermati dengan baik yang namanya partisipasi bermakna dalam pembuatan kebiajakan. Menurut dia, disebut sebagai partisipasi bermakna jika memiliki tiga dimensi hak, yakni hak untuk didengar, dilibatkan, dan mendapatkan penjelasan ketika pendapatnya tidak diterima.
“Dilibatkan stake holder-nya, didengar pendapat mereka, dan kalau tidak diakomodir diberi penjelasan,” kata Robert.
Dalam kerangka terbitnya Permenaker ini, Robert melanjutkan, diperoleh informasi bahwa pelibatan atau patrtisipasi khususnya dari unsur stakeholder utama pelaku usaha itu minim. Bahkan lembaga yang mewadahi proses dialog bersama pemerintah, yaitu pekerja atau serikat pekerja, dan pemberi kerja atau pengusaha, serta dewan pengupahan tidak sungguh dilibatkan.
“Kita berharap pemerintah mencermati ini agar kemudian apa yang menjadi keputusan benar bisa berjalan,” tutur dia.
Karena, jika Permenaker tersebut diterbitkan, maka akan menjadi dasar bagi pihak pemerintah daerah mulai dari gubernur, bupati, hingga wali kota untuk menyusun keputusan soal penetapan upah minimum. Robert meminta pemerintah tidak terkesan mengambil kebijakan yang sepihak.
Robert menjelaskan, yang terjadi hari ini adalah asosiasi pengusaha Indonesia dan pihak pemberi kerja lainnya malah menyampaikan permohonan yudisial review ke Mahkamah Agung. Bahkan, Robert berujar, mungkin akan diikuti dengan gugatan PTUN terhadap keputusan dari kepala daerah.
“Ini akan menimbulkan ketidakpastian. Kita tahu kebijakan yang baik adalah kebijakan yang bejralan efektif. Agar efektif maka proses penyusunannya harus melibatkan pihak terkait,” ucap dia. “Jika tidak dilibatkan maka tantangannya adalah bagaimana dukungan pelaksanaannya itu bisa terjadi.”
Sebelumnya, Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 itu terbit pada Sabtu, 19 November 2022, dengan upah minimum provinsi (UMP) 2023 ditetapkan naik 10 persen. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyebutkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang pengupahan tak lagi menjadi acuan penghitungan upah minimum karena dinilai belum mengakomodasi dampak kenaikan inflasi.
"Penetapan upah minimum melalui formula PP Nomor 36 Tahun 2021 belum dapat mengakomodasi dampak dari kondisi sosial ekonomi masyarakat karena upah minimum tidak seimbang dengan laju kenaikan harga-harga barang," tuturnya melalui video YouTube yang diunggah pada Sabtu, 19 November 2022.
Baca Juga: Mulai Hari Ini Hingga 7 Desember, Buruh Gelar Demo Besar-besaran Tolak Kenaikan UMP DKI Jakarta
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.