Pasalnya, pemerintah sudah memiliki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dikelola Kementerian Sosial hingga data kependudukan di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). "Artinya bisa dilakukan tanpa harus mengeluarkan biaya," tuturnya.
Selain itu, data DTKS dan BKKBN dianggap sudah cukup mutakhir untuk dijadikan acuan program-program pemerintah. Sementara data yang dikumpulkan BPS belum jelas rencana pemutakhirannya. Di sisi lain, BPS baru mengolah data yang dikumpulkan akhir tahun ini pada 2023.
Sumber Tempo lainnya di pemerintahan mengatakan payung hukum program Regsosek juga jadi alasan penolakan. "Regsosek yang sekarang sudah dimulai itu belum punya landasan hukum. Belum ada aturan khusus yang mengatur soal Regsosek," ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan telah menyetujui anggaran untuk program Regsosek dengan total nilai Rp 4,17 triliun.
Dana Regsosek sempat diblokir
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata menilai program ini sudah memiliki landasan hukum yang cukup. Meski sebelumnya dana tersebut sempat diblokir.
Dari surat-surat yang Tempo lihat, anggaran Regsosek tahun 2022 sempat diblokir lantaran Rancangan Peraturan Presiden tentang Reformasi Sistem Perlindungan Sosial belum disetujui. Dari surat yang Tempo lihat, Kementerian Keuangan menyatakan akan menahan dana tersebut sampai beleidnya terbit.
Namun kemudian Kementerian memberi restu Regsosek pada Agustus lalu padahal aturannya belum disetujui, bahkan sekarang dikembalikan untuk disusun ulang.
"Dalam perkembangannya, BPS menyatakan ada dasar hukum yang cukup untuk hal tersebut, yaitu UU Statistik dan PP turunannya. Dengan demikian, kebutuhan landasan hukum terpenuhi dan blokir bisa dicabut," ujar dia.
VINDRY FLORENTIN | IDHAM VIRYAWAN
Baca juga: Pendataan Regsosek di Surakarta Selesai, Data Terkumpul 103,9 Persen
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini .