TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri memprediksi ekonomi global mengalami perlambatan saat resesi global pada tahun 2023. Akibatnya, kebutuhan input untuk energi dan komoditas juga akan mengalami penurunan.
Kebutuhan input untuk komoditas dan energi yang menurun itu, menurut dia, akan membawa dampak pada ekonomi Indonesia. Alasannya, mayoritas atau 60 persen dari ekspor Indonesia berasal dari energi dan komoditas.
Dengan begitu, Chatib memperkirakan nilai ekspor Indonesia tahun depan bakal turun dan berimplikasi pada surplus perdagangan tidak akan setinggi tahun ini. “Bahkan bukan tidak mungkin kita mengalami current account deficit, walaupun relatif kecil,” ujar Chatib dalam acara Indonesia Khowledge Forum XI 2022 yang digelar virtual pada Selasa, 18 Oktober 2022.
Baca: Ancaman Resesi 2023, Chatib Basri Beberkan Apa Saja yang Akan Dialami Indonesia
Hal itu juga memiliki implikasi kepada pelemahan ekspor dan pelemahan harga komoditas. Tak hanya berimbas ke pengusaha, tapi juga ke penerimaan negara. “Nah kalau ekspornya mengalamai penurunan, praktis ekonomi Indonesia akan melambat,” tutur Chatib.
Namun begitu, Chatib menyebutkan Indonesia masih cukup beruntung. Apalagi bila dibandingkan dengna negara seperti Singapura yang porsi ekspor terhadap PDB-nya sebesar 200 persen atau negara seperti Taiwan yang porsi terhadap ekspor PDB-nya sangat tinggi. Sedangkan Indonesia porsi ekspor terhadap PDB hanya 25 persen.
“Jadi bodoh-bodohannya, kalau kita enggak bisa ekspor lagi, kira-kira yang hilang dari GDP itu 25 persen. Berbeda dengan Singapura yang hilang 200 persen,” kata Chatib Basri.
Lebih jauh ia menyebutkan, perekonomian nasional tak bisa lepas dari kondisi global. “Resep terbaik untuk terhindar dari resesi adalah tidak terintegrasi pada global, tapi tentu itu tidak mungkin.”
Sehingga, menurut dia, negara yang keterhubungannya sangat kecil atau less integrited itu dampaknya relatif kecil. Hal tersebut yang kemudian menolong Indonesia saat krisis tahun 2008 dan saat pandemi Covid-19. Itu juga penyebab saat pandemi, Chatib Basri menyebutkan kontraksi Indonesia hanya minus 2,1 persen.
Selanjutnya: Ketika dunia pulih, Singapura tumbuh sangat cepat, lebih dari 10 persen.