Sebaliknya, Chatib melanjutkan, ketika dunia pulih, Singapura bisa tumbuh dengan sangat cepat dan melampaui dari 10 persen. Sementara Indonesia itu tertahan pertumbuhan ekonominya di sekitar 5-7 persen. Dia menlai jika 7 persen pada saat recovery dibandingkan dengan negara lain sebetulnya relatif kecil dan rendah.
“Dalam konteks ini efek dari slow down dari global economy terhadap ekonomi Indonesia itu terbatas karena siap dari ekspor terhadap GDP-nya kecil,” kata Chatib. “Lalu apakah ini by design? Jawabannya tidak, karena kita ingin seperti Singapura sebenarnya.”
Namun, menurut komisaris salah satu bank pelat merah itu, karena berbagai hal Indonesia tidak kompetitif dan memilih diuntungkan dengan ketidakmampuan. Jeleknya nanti ketika global recovery terjadi Indonesia akan lambat mengalami pemulihan.
Di sisi lain, jika kemudian The Fed menaikkan bunga, maka Chatib menambahkan, implikasinya adalah akan sangat menarik untuk menempatkan uang di Amerika. Sekarang perbedaan antara Fed Fund Rate dan Bank Indonesia Rate itu mungkin terendah sepanjang sejarah. “Itu yang menjelaskan mengapa rupiahnya terus mengalami pelemahan.”
Dalam kondisi seperti ini, Chatib memperkirakan, mau tidak mau Bank Indonesia tidak bisa memiliki independent monetery policy. Selain itu bank sentral terpaksa mengikuti kenaikan bunga di Amerika untuk menjaga supaya nilai tukarnya tidak terdepresiasi lebih dalam.
Chatib menilai, ekonomi Indonesia menurut saya masih relatif kuat dalam 6 hingga 8 bulan ke depan. Dan setelah itu akan ada implikasi dari perkembangan situasi global yang bisa berpengaruh kepada ekonomi Indonesia.
“Saya memang masih percaya pada tahun 2022, bahkan kuartal ketiga, Indonesia mungkin akan tumbuh relatif kuat sekali, sekitar 5,4 persen atau 5,5 persen,” ujar Chatib Basri.
Baca juga: Ancaman Resesi, Gubernur BI Yakin Pertumbuhan Ekonomi Tahun Depan Tembus 5,3 Persen
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini