Namun meski pemerintah sudah mengatur HET, tak sedikit masyarakat yang kesulitan menemukan minyak goreng dengan harga tersebut. Bahkan tak jarang, stok minyak goreng di reail pun nihil. Di beberapa tempat juga dilakukan pembatasan pembelian minyak goreng dengan harga yang ditetapkan pemerintah tersebut agar masyarakat tidak kehabisan stok.
Namun, menurut Faisal, penetapan HET yang tidak diiringi oleh tambahan pasokan memadai membuat harga minyak goreng tetap tinggi dan mendekati Rp 20.000 per liter. "Boleh jadi pedagang masih menjual dengan harga lama karena stok yang mereka miliki diperoleh dengan harga lama. Boleh jadi pula karena memang pasokan tersendat sehingga terjadi kelangkaan di pasar."
Ia pun mengkritik kebijakan satu harga sebesar Rp 14.000 per liter untuk operasi pasar agar harga stabil. "Harga itu tentu saja adalah harga subsidi, karena produsen minyak goreng tidak mau merugi atau terpangkas labanya. Dana subsidi berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS)," ucap Faisal.
Ia menyatakan, pemerintah seharusnya mendiagnosis penyebab kenaikan harga untuk bisa merumuskan kebijakan yang baik dan efektif. "Pasar tidak bisa dikomando secara serampangan," tulis Faisal..
Lebih jauh, Faisal menilai kelangkaan minyak goreng tersebut bukan karena ulah pengusaha industri kelapa sawit atau bahkan usaha praktik kartel. Pasalnya, saat ini pengguna CPO di dalam negeri tak lagi didominasi oleh industri pangan, termasuk minyak goreng.
Ia memaparkan, bahwa sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik. Hal ini yang menimbulkan pergeseran besar dalam konsumsi CPO di dalam negeri dari sebelumnya didominasi oleh industri pangan menjadi industri biodiesel.
Lonjakan tajam terjadi pada tahun 2020 dengan diterapkannya Program B20 (20 persen kandungan CPO dalam minyak biosolar). Akibatnya, konsumsi CPO untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton tahun 2019 menjadi 7,23 juta ton tahun 2020 atau kenaikan sebesar 24 persen.