TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, Didiek Hartantyo, menjelaskan panjang lebar soal Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp 4,3 triliun dari APBN untuk proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung. Suntikan modal ini diberikan untuk memenuhi kekurangan penyetoran ekuitas dasar atau base equity, yang kini mengakibatkan penyaluran kredit dari Cina tertahan.
"Kalau ini selesai ditutup (dipenuhi), maka kami bisa narik kredit selanjutnya dari pihak CDB (China Development Bank)," kata Didiek saat berkunjung ke Kantor Tempo di Jakarta, Rabu, 3 November 2021.
Penjelasan ini diberikan Didiek setelah PT KAI resmi ditunjuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjadi lead konsorsium BUMN di kereta cepat, menggantikan PT PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika. Keputusan ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021.
Perpres ini pula yang mengizinkan adanya PMN untuk kereta cepat. Pertama untuk memenuhi kekurangan kewajiban penyetoran ekuitas dasar. Kedua untuk memenuhi pembengkakan biaya atau cost overrun.
Didiek bercerita bahwa nilai awal proyek ini yaitu sebesar US$ 6,07 miliar. Sebanyak 75 persen atau US$ 4,55 miliar dibiayai oleh kredit dari CDB. Lalu, 25 persen sisanya atau US$ 1,52 miliar berbentuk ekuitas.
Dari US$ 1,52 miliar ini, porsi ekuitas konsorsium Cina yaitu Beijing Yawan HSR Co Ltd sebanyak 40 persen atau US$ 610 juta. Sementara, konsorsium Indonesia yaitu PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebanyak 60 persen atau US$ 911 juta.
Ini artinya, konsorsium Indonesia harus menyetor total ekuitas dasar sebanyak US$ 911 juta di perusahaan patungan kedua konsorsium, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Tapi saat ini, setoran yang masuk baru US$ 614 juta.
Sehingga, kekurangan setoran ekuitas dasar konsorsium Indonesia mencapai US$ 297 juta atau sekitar Rp 4,36 triliun. Kekurangan ini berasal dari empat BUMN yang ada di dalam konsorsium Indonesia.