TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengatakan penyelenggara fintech peer-to-peer lending atau pinjaman online resmi dilengkapi dengan standar teknologi seperti tergabung dalam fintech data center, E-KYC, credit scoring, dan digital signature terpercaya.
"Maka dari itu, kalau dilihat approval rate kita rendah, kurang dari 50 persen karena saking banyaknya permohonan pinjaman. Memang kami cepat, tapi tidak sembarangan semua disetujui," katanya dalam diskusi khusus bersama media seperti dikutip, Ahad, 23 Mei 2021.
Menurut Kus, masih banyak beroperasinya pinjol ilegal merupakan akibat gap permintaan dan penyediaan kredit atau pembiayaan di masyarakat masih mencapai Rp 1.650 triliun per tahun.
Sementara itu, penyelenggara fintech P2P baru bisa membantu merealisasikan penyaluran pembiayaan sebesar Rp 74,41 triliun sepanjang 2020, naik 26,47 persen (year-on-year) dari Rp 58 triliun sepanjang 2019.
"Dengan gap sebesar ini, produk apapun pasti akan dicoba, termasuk yang ilegal. Oleh sebab itu, terpenting sekarang kita terus mengingatkan dan mengedukasi pengguna agar memastikan platform yang dipilih resmi terdaftar dan berizin OJK, serta bijak dalam mengajukan pinjaman, sesuai kebutuhan dan mempertimbangkan kemampuan," katanya.
Hingga April 2021, Satgas Waspada Investasi menemukan 86 platform fintech lending ilegal dan 26 kegiatan usaha tanpa izin yang berpotensi merugikan masyarakat.