Meskipun demikian, sebagai rencana pemerintah, ia menilai perlu ada transparansi bagaimana gagasan dan simulasinya, siapa saha yang terkena dampak, dan bagaimana skenarionya. Hal itu, kata dia, harus digaungkan dan publik harus tahu.
"Apakah ini bisa menguntungkan atau merugikan khususnya bagi masyarakat bawah Dan skenario apa yang disampaikan pemerintah itu memang sampai sedetail-detailnya, bagi pengusaha, konsumen, dan sebagainya, sehingga bisa memahami," tutur Tauhid.
Kalau lebih banyak mudaratnya, Tauhid menyarankan rencana itu dibatalkan atau ditunda kenaikannya. "Sebelum ditetapkan, wacana ini harus terus digaungkan dan mendapat sorotan banyak pihak. Mudah-mudahan ini untuk kebaikan kita semua."
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa upaya pemerintah dalam menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) masih dalam pembahasan pemerintah.
“Ini juga dikaitkan dengan pembahasan undang-undang (UU) yang diajukan ke DPR, yaitu RUU KUP (Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan),” katanya pada konferensi pers virtual, Rabu, 5 Mei 2021.
Mengacu kepada UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah bisa mengubah besaran pungutan. UU tersebut mengatur perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Saat ini, tarif PPN 10 persen. Dampaknya tentu akan ada pada kenaikan harga barang dan jasa.
CAESAR AKBAR | BISNIS
Baca juga: Stafsus Sri Mulyani Pertanyakan Soal Diskusi Tarif Pajak, Ini Kata Indef